Powered By Blogger

Selasa, 27 Juli 2010

fungsi kelenjar adrenal dan kelainannya

Pendahuluan
Korteks adrenal menghasilkan beberapa hormon steroid, yang paling penting
adalah kortisol, aldosteron dan androgen adrenal. Kelainan pada kelenjar adrenal
menyebabkan endokrinopati yang klasik seperti sindroma Cushing, penyakit
Addison, hiperaldosteronisme dan sindroma pada hiperplasia adrenal kongenital.
Kemajuan dalam prosedur diagnosis telah memudahkan evaluasi kelainan
adrenokortikal, terutama penentuan plasma glukokortikoid, androgen dan ACTH
telah memungkinkan diagnosis yang lebih cepat dan tepat . Saat ini kemajuan
pengobatan kedokteran telah dapat memperbaiki nasib sebagian besar penderita
dengan kelainan ini.
Anatomi dan fisiologi.
Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat dibedakan :
1. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya
mineralokorticoid (aldosterone), ysng terutama diatur oleh angiotensin II,
kalium , dan ACTH. Juga dipengaruhi oleh dopamine, atrial natriuretic
peptide (ANP) dan neuropeptides ..
2. Zona fasciculata pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis
glukokortikoid, terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi oleh
beberapa sitokin (IL-1, IL-6, TNF) dan neuropeptida
3. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal
(terutama dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfa t dan
androstenedion) juga glukokortikoid (kortisol and corticosteron).
Disampaikan pada pertemuan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi bagian Obstetri dan
Ginekologi RSHS/FKUP Bandung, tanggal 11 Juni 2005
2
Tidak terdapat perbedaan yang jelas secara anatomi antara korteks dan medula
yang menghasilkan katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir hal ini
memungkinkan adanya interaksi parakrin diantara keduanya (1,2,3)
Gambar 1. Gambar potongan melintang kelenjar adrenal . zM = adrenal medulla,
zR = zona reticularis, zF = zona fasciculata, zG = zona glomerulosa,
Caps = kapsel adrenal
Sel-sel Immun
Makrofag tersebar pada korteks adrenal. Sebagai tambahan pada aktifitas
fagositosis, juga mengsekresikan sitokin (TNF, IL-1, IL-6) dan peptida (VIP),
yang berinteraksi dengan sel adrenokortikal dan berpengaruh pada fungsinya [4].
Limfosit juga tersebar pada korteks adrenal, dan diketahui menghasilkan substansi
mirip ACTH . Juga telah terbukti bahwa interaksi immuno-endokrin antara
limfosit dan sel zona retikurlais dapat menstimulasi dihaskilannya
dehidroepiandrosteron [5]. Jadi, kontak yang erat antara sel chromafin, pembuluh
darah dan sel-sel immunitas secara bersama-sama mengatasi adanya respon stres.
Dalam melakukan eksplorasi pengaruh sitokin pada hypothalamus-hypofise, pada
penelitian invitro diperlihatkan bahwa IL- dan TNF- akan menghambat
3
pelepasan TSH dari hypofise melalui stimulasi terhadap pelepasan somatostatin
dari hypothalamus (6) . IL-6 sendiri berperan melalui poros hypothalamushypofise-
adrenal, tidak melalui tiroid.(7)
Gambar 2. Penurunan TSH yang dimediasi
oleh sitokin
Efek Biologik Glukokortikoid
Walaupun mula-mula nama glukokortikoid dhiubungkan dengan
pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa sekarang ini didefinisikan sebagai
steroid yang bekerja dengan pengikatan pada reseptor sitosolik yang spesifik yang
merupakan perantara dari kerja hormon-hormon ini. Reseptor glukokortikoid ini
dijumpai pada hampir semua jaringan, dan interaksi dari reseptor glukokortikoid
ini yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja sebagian besar steroidsteroid
tersebut.
Mekanisme Molekular
4
A. Reseptor Glukokortikoid : Cara kerja glukokortikoid diawali dengan
masuknya steroid ini ke dalam sel dan berikatan dengan protein reseptor
glukokortikoid sitosilik (Gambar 3). Setelah terjadi pengikatan, kompleks hormon
reseptor yang aktif masuk dalam inti dan bereaksi dengan sisi reseptor kromatin
inti.
Gambar 3 . Tahap-tahap dalam kerja hormon. Aktivasi oleh reseptor intraselular oleh
hormon steroid diikuti oleh pengikatan nuklear dari kompleks dan
stimulasi sintesis mRNA (Catt KJ, Dufau ML: Hormon action: Control of
target-cell function by peptide, tiroid: and steroid hormones. In:
Endocrinology and Metabolism. Felig P et al [editor]. McGraw-Hill,
1991;p 1881.)
Kompleks reseptor-glukokortikoid terikat pada tempat spesifik pada nukleus
DNA, elemen pengaturan glukokortikoid. Protein yang terjadi mempengaruhi
respons glukokortikoid, yang dapat bersifat inhibitor atau stimulator tergantung
dari jaringan spesifik yang dipengaruhi. Walaupun reseptor glukokortikoid adalah
sama pada kebanyakan jaringan, protein yang disintesis berbeda jauh dan
merupakan hasil ekskresi gen yang spesifik pada tipe sel-sel yang berbeda.
Walaupun domain pengikat steroid dari reseptor glukokortikoid memberikan
spesifitas untuk pengikatan glukokortikoid, glukokortikoid seperti kortisol dan
5
kortikosteron terikat pada reseptor mineralokortikoid dengan afinitas sama seperti
dengan aldosteron.
B. Mekanisme yang Lain : Walaupun interaksi dari glukokortikoid
dengan reseptor sitosolik dan rangsangan selanjutnya dari ekskresi gen adalah
hasil kerja utama glukokortikoid, pengaruh lain dapat terjadi melalui mekanisme
berbeda. Contoh yang penting adalah pengaruh inhibisi balik dari glukokortikoid
terhadap sekresi ACTH . Pengaruh ini terjadi dalam beberapa menit setelah
pemberian glukokortikoid dan reaksi yang cepat ini mungkin sekali bukan
disebabkan oleh sintesis RNA dan protein tetapi terutama disebabkan oleh
perubahan fungsi sekresi atau membran sel yang diinduksi glukokortikoid.
Glukokortikoid Agonis dan Antagonis
Pengertian mengenai reseptor glukokortikoid memberikan petunjuk tentang
definisi glukokortikoid agonis dan antagonis. Pengertian ini juga membuktikan
sejumlah steroid dengan efek campuran yang disebut sebagai agonis parsial,
antagonis parsial atau agonis parsial-antagonis parsial.
A. Agonis : Pada manusia, kortisol, glukokortikoid sintetik (misal,
prednisolon, deksametason), kortikosteron, dan aldosteron adalah agonis glukokortikoid.
Glukokortikoid sintetik mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor
glukokortikoid, dan juga mempunyai afinitas glukokortikoid yang lebih besar dari
pada kortisol bila terdapat pada konsentrasi ekuimolar. Kortikosteron dan
aldosteron mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor glukokortikoid, tetapi,
konsentrasi di dalam plasma biasanya lebih rendah dari pada kortisol, jadi steroid
ini tidak menunjukkan efek fisiologis glukokortikoid yang berarti.
B. Antagonis : Antagonis glukokortikoid mengikat reseptor glukokortikoid
tetapi tidak mengakibatkan peristiwa yang terjadi dalam nukleus yang dibutuhkan
untuk menyebabkan respons glukokortikoid. Steroid ini bersaing dengan reseptor
steroid agonis seperti kortisol sehingga menghalangi respons agonis. Steroidsteroid
lain mempunyai aktivitas agonis parsial bila didapat tersendiri; mis,
menyebabkan respons glukokortikoid parsial. Tetapi di dalam konsentrasi yang
cukup terjadi kompetisi dengan steroid agonis untuk reseptor, hingga terjadi
6
kompetisi menghalangi respons agonis; misalnya agonis parsial dapat berfungsi
sebagai antagonis parsial dengan adanya glukokortikoid yang aktif. Jenis steroid
seperti progesteron, 11deoksikortikoid, DOC, testosteron, dan 17-estradiol
mempunyai efek antagonis atau agonis parsial-antagonis parsial; tetapi, peranannya
secara fisiologi mungkin tidak berarti, karena konsentrasi di dalam sirkulasi
sangat sedikit. Agen antiprogesteron RU 486 (mifepristone) mempunyai sifat
antagonis glukokortikoid kuat dan digunakan untuk memblok kerj a
glukokortikoid pada pasien dengan sindroma Cushing.
Metabolisme Intermedier
Glukokortikoid pada umumnya menghambat sintesis DNA. Pada sebagian
besar jaringan menghambat sintesis RNA dan proteni dan mempercepat
katabolisme protein.
A. Metabolisme Glukosa Hepatik: Glukokortikoid meningkatkan
glukoneogenesis hepatik dengan merangsang enzim glukoneogeni k yaitu
fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6-fosfatase. Glukokortikoid juga
mempunyai pengaruh meningkatkan respons hepar terhadap hormon
glukoneogenik (glukagon, katekolamin) dan juga mempengaruhi peningkatan
pembesaran substrat dari jaringan perifer terutama otot. Pengaruh akhir ini
ditingkatkan oleh glukokortikoid yang menyebabkan pengurangan ambilan asam
amino di perifer dan sintesis protein. Glukokortikoid juga meningkatkan
pelepasan gliserol dan asam lemak bebas dengan lipolisis dan meningkatkan
pembebasan asam laktat dari otot. Steroid ini juga meningkatkan sintesis glikogen
hepatik dan penyimpanan dengan stimulasi aktivitas glikogen sintetase dan
dengan sedikit mengurangi pemecahan glikogen. Efek ini tergantung pada insulin.
B. Metabolisme Glukosa di Perifer : Glukokortikoid juga mempengaruhi
metabolisme karbohidrat dengan jalan menghalangi ambilan glukosa di perifer
dalam otot dan jaringan adiposa.
C. Pengaruh Terhadap Jaringan Adipose : Dalam jaringan adiposa
pengaruh utama adalah peningkatan lipolisis dengan pembebasan gliserol dan
asam lemak bebas. Sebagian disebabkan oleh stimulasi langsung lipolisis oleh
7
glikokortikoid, tetapi juga atas pengaruh penyerapan glukosa yang berkurang dan
peningkatan oleh glukokortikoid terhadap pengaruh hormon lipolitik. Walaupun
glukokortikoid bersifat lipolitik, terjadi peningkatan penimbunan lemak yang
merupakan manifestasi klasik dari kelebihan glukokortikoid. Keadaan yang
paradoksal ini dapat diterangkan dengan meningkatnya selera makan yang
disebabkan oleh karena kadar steroid yang tinggi, dan karena pengaruh lipogenik
dari keadaan hiperinsulinemia yang terjadi pada keadaan ini.
Pengaruh glukokortikoid terhadap metabolisme intermedier dapat
dirangkum sebagai berikut : (1) Dalam keadaan kenyang pengaruhnya sangat
minim. Tetapi pada keadaan puasa, glukokortikoid ikut mengatur kadar glukosa
dalam plasma dengan cara meningkatkan glukoneo-genesis, deposisi glikogen,
dan pembebasan substrat di perifer. (2) Peningkatan produksi glukosa hepatik
sebagaimana juga sintesis hepatik RNA dan protein. (3) Pengaruhnya terhadap
otot bersifat katabolik; misalnya mengurangi penyerapan dan metabolisme
glukosa, mengurangi sintesis protein, dan meningkatkan pembebasan asam amino.
(4) Pada jaringan adiposa mera ngsang lipolisis. (5) Pada defisiensi
glukokortikoid, dapat terjadi hipoglikemia, sedangkan pada glukokortikoid
berlebihan dapat terjadi hiperglikemia, hiperinsulinemia, pengecilan otot, dan
peningkatan berat badan dengan distribusi lemak yang abnormal.
Efek pada Fungsi dan Jaringan-Jaringan Lain
A. Jaringan Ikat : Glukokortikoid dalam jumlah yang berlebihan
menghambat fungsi fibroblas, yang akan menyebabkan kehilangan jaringan
kolagen dan jaringan ikat, sehingga mengakibatkan penipisan kulit, mudah
mengelupas, pembentukan striae dan kesulitan penyembuhan luka.
B. Tulang : Glukokortikoid secara langsung menghambat pembentukan
tulang dengan menurunkan proliferasi sel dan sintesis RNA, protein, kolagen dan
hialuronat. Glukokortikoid secara langsung juga menstimulasi sel-sel yang
meresorbsi di tulang, menyebabkan osteolisis dan meningkatkan ekskresi
hidroksiprolin di urin. Sebagai tambahan, juga memperkuat efek PTH pada tulang,
dan hal tersebut akan berpengaruh lebih lanjut pada resorpsi akhir pada tulang.
8
C. Metabolisme Kalsium : Glukokortikoid juga mempunyai efek utama
pada homeostasis mineral. Glukokortikoid jelas akan mengurangi absorpsi
kalsium dari usus, yang menyebabkan penurunan kadar kalsium serum. Hal ini
menyebabkan peningkatan sekunder sekresi PTH, yang akan mempertahankan
kadar kalsium serum dalam batasbbatas normal dengan menstimulasi resorpsi dari
tulang. Glukokortikoid juga meningkatkan ekskresi kalsium di urin. Juga mengurangi
reabsorpsi fosfor di tubulus, yang menyebabkan fosfaturia dan
penurunan kadar fosfor dalam serum.
Jadi, glukokortikoid berlebihan menyebabkan keseimbangan kalsium yang
negatif, dengan penurunan absorpsi dan peningkatan ekskresi di urin. Kadar
kalsium dalam serum tetap bertahan normal, tetapi ini akan merugikan karena
terjadi resorpsi dari tulang. Penurunan pembentukan tulang dan peningkatan
resorpsi akhirnya akan menyebabkan osteopenia yang mungkin menjadi
komplikasi utama dari glukokortikoid berlebihan spontan ataupun iatrogenik .
D. Pertumbuhan dan Perkembangan : Glukokortikoid mempercepat
perkembangan sejumlah sistem dan organ-organ pada fetus dan jaringan-jaringan
yang berdiferensiasi. Contoh dari efek-efek yang mempercepat pertumbuhan ini
adalah peningkatan produksi surfaktan di paru-paru pada fetus dan peningkatan
perkembangan sistem-sistem enzim pada hepar dan gastrointestinal.
Glukokortikoid dalam jumlah yang berlebihan a kan menghambat
pertumbuhan pada anak-anak, dan efek yang merugikan ini merupakan
komplikasi utama terapi dengan obat tersebut. Hal ini mungkin terjadi sebagai
akibat adanya efek langsung pada sel-sel tulang, walaupun disini juga dipengaruhi
oleh penurunan sekresi hormon pertumbuhan (GH) dan pembentukan
somatomedin .
E. Sel-sel Darah dan Fungsi Imunologis :
1. Eritrosit-- Glukokortikoid hanya sedikit berpengaruh pada eritropoiesis
dan konsentrasi hemoglobin. Walaupun mungkin terdapat polisitemia dan anemia
yang ringan berturut-turut pada sindroma Cushing dan penyakit Addison,
perubahan perubahan ini lebih mungkin terjadi sekunder akibat perubahan pada
metabolisme androgen.
9
2. Lekosit-- Glukokortikoid mempengaruhi pergerakan dan fungsi lekosit,
meningkatkan lekosit polimorfonuklear intravaskular dengan meningkatkan pelepasan
sel-sel tersebut dari sumsum tulang, dengan meningkatkan waktu-paruh selsel
PMN dalam sirkulasi, dan dengan menurunkan pergerakan kompartemen
vaskular ke luar. Pemberian glukokortikoid menurunkan jumlah limfosit-limfosit,
monosit-monosit dan eosinofil-eosinofil dalam sirkulasi berkurang, terutama
akibat peningkatan pergerakannya ke luar dari sirkulasi. Keadaan sebaliknya ini
yaitu terjadinya netropenia, limfositosis, monositosis dan eosinofilia-ditemukan
pada insufisiensi adrenal. Glukokortikoid juga menurunkan migrasi sel -sel
inflamasi (sel-sel PMN, monosit-monosit dan limfosit-limfosit) ke lokasi
terjadinya perlukaan, hal ini mungkin merupakan mekanisme utama dari kerja
anti-inflamasi dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang terjadi akibat
pemberian yang bersifat kronis. Glukokortikoid juga menurunkan produksi
limfosit dan mediator serta fungsi-fungsi efektor sel-sel tersebut.
3. Efek imunologis-- Glukokortikoid mempengaruhi berbagai aspek
respons imunologis dan inflamasi, termasuk mobilisasi dan fungsi lekosit. Mereka
menghambat fosfolipase A2, suatu enzim kunci dalam sintesis prostaglandin.
Mereka juga mengganggu pelepasan s ubstansi efektor seperti limfokin
interleukin-1, produksi dan bersihan antibodi, serta derivat spesifik sumsum
tulang lainnya dan fungsi limfosit yang berasal dari timus. Kemudian, sistem
imun mempengaruhi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal; interleukin-I
merangsang sekresi CRH dan ACTH.
F. Fungsi Kardiovaskular : Glukokortikoid mungkin dapat meningkatkan
curah jantung, dan juga meningkatkan tonus vaskular di perifer, mungkin dengan
meningkatkan efek vasokonstriktor-vasokonstriktor lain misalnya: katekolamin.
Glukokortikoid juga mengatur ekspresi reseptor adrenergik. Jadi, dapat terjadi
syok refraktori bila individu yang mengalami defisiensi glukokortikoid terkena
stres. Glukokortikoid yang berlebihan sendiri dapat menyebabkan hipertensi
yang berasal dari efek mineralokortikoidnya. Walaupun insidens dan penyebab
yang pasti problem ini masih belum jelas, tampaknya mekanisme yang terlibat
10
dalam sistem renin-angiotensin; glukokortikoid mengatur subtrat renin,
prekursor angiotensin I.
G. Fungsi Ginjal: Steroid-steroid akan mempengaruhi keseimbangan
cairan dan elektrolit dengan bekerja melalui reseptor-reseptor mineralokortikoid
(retensi natrium dan air, hipokalemia, dan hipertensi) atau melalui reseptor
glukokortikoid (meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus d engan
meningkatkan curah jantung atau dengan efek langsung pada gnijal).
Kortikosteroid seperti betametason atau deksametason mempunyai aktivitas
mineralokortikoid ringan, meningkatkan ekskresi natrium dan air. Penderita
penderita defisiensi glukokortikoid mengalami penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus dan tidak mampu mengekskresi beban cairan yang berlebihan. Hal
ini dapat dipengaruhi dari akibat peningkatan sekresi ADH, yang dapat terjadi
pada defisiensi glukokortikoid.
H. Fungsi Susunan Saraf Pusat: Glukokortikoid dapat masuk ke dalam
otak, dan walaupun peranan fisiologis pada pada susunan saraf pusat belum
diketahui, kelebihan dan defisiensinya jelas dapat mempengaruhi fungsi kognitif
dan tingkah laku.
1. Glukokortikoid yang berlebihan-- Pada keadaan berlebihan, mula-mula
glukokortikoid akan menyebabkan euforia; namun selanjutnya bila pajanan
berlangsung lama, terjadilah sejumlah kelainan psikologis mencakup iritabilitas,
labilitas emosi, dan depresi. Banyak pasien yang mengalami kegagalan fungsi
kognitif, sebagian besar mengenai ingatan dan konsentrasi. Efekefek sentral
lainnya adalah peningkatan nafsu makan, penurunan libido, dan insomnia.
2. Penurunan glukokortikoid-- Pasien-pasien dengan penyakit Addison
bersifat apatis dan depresi, cenderung mudah terangsang, negativistik. Mereka
juga mengalami penurunan selera makan.
I. Efek terhadap Hormon-Hormon lainnya :
1. Fungsi tiroid-- Glukokortikoid dalam jumlah berlebihan akan
mempengaruhi fungsi tiroid. Walaupun kadar TSH basal biasanya tetap normal,
respons TSH terhadap thyrotropin-releasing hormone (TRH) sering subnormal.
Kadar tiroksin (T4) total dalam serum biasanya kurang dari normal, thyroxin
11
binding globulin menurun, dan kadar T4 bebas normal. Kadar T3 (triiodotironin)
total dan bebas mungkin rendah, karena glukokortikoid yang berlebihan
menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan meningkatkan konversi menjadi T3
reverse. Walaupun terjadi perubahan-perubahan tersebut, manifestasi
hipotiroidisme tidak jelas terlihat.
2. Fungsi gonad- Glukokortikoid juga mempengaruhi fungsi gonad dan
fungsi gonadotropin. Pada pria, glukokortikoid menghambat se kresi
gonadotropin terbukti dengan menurunnya respons terhadap pemberian
gonadotropin releasing hormone (GnRH) dan kadar testosteron plasma yang
subnormal. Pada wanita, glukokortikoid juga akan menekan respons LH
terhadap GnRH, yang menyebabkan terjadinya supresi estrogen dan progestin
berakibat inhibisi ovulasi dan terjadinya amenorea.
J. Efek-efek Lainnya:
1. Ulkus peptikum-- Peranan steroid yang berlebihan pada terjadinya atau
reaktivasi ulkus peptikum masih kontroversial. Ulkus-ulkus pada sindroma
Cushing spontan dan pada kontak dengan terapi glukokortikoid dosis sedang
tidak sering terjadi, walau data-data terakhir menimbulkan dugaan bahwa
pasien-pasien yang telah mempunyai ulkus dan diterapi dengan steroid dan yang
mendapat terapi steroid dosis tinggi mungkin akan meningkatkan risiko.
2. Efek-efek oftalmologis- Tekanan intraokuler bervariasi sesuai dengan
kadar glukokortikoid yang beredar dan paralel dengan variasi sirkadian kadar
kortisol plasma. Sebagai tambahan, glukokortikoid yang berlebihan akan
meningkatkan tekanan intraokuler pada pasien-pasien glaukoma sudut terbuka.
Terapi glukokortikoid dapat pula menyebabkan terbentuknya katarak.
Fungsi Klinis dan laboratoris androgen adrenal
Aktivitas biologis langsung dria androgen-androgen adrenal
(androstenedion, DHEA dan DHEA sulfat) adalah minimal dan berfungsi
terutama sebagai prekursor-prekursor untuk konversi di perifer menjadi hormonhormon
androgenik aktif, testosteron dan dihidrotestosteron. Jadi, DHEA sulfat
disekresikan oleh adrenal mengalami konversi menjadi DHEA dalam jumlah
12
terbatas; DHEA yang dikonversi di perifer ini dan yang disekresi oleh kortek
adrenal dapat dikonversi lebih lanjut di jaringan perifer menjadi androstenedion
yang merupakan prekursor siap pakai menjadi androgen androgen aktif.
Gambar 5. Biosintesa androgen adrenal
Singkatan : CYP11A1, cholesterolmside-chain cleavage
enzyme; desmolase; CYP17, 17��-hydroxylase/17,20-lyase;
3��-HSD, 3��-hydroxysteroid dehydrogenase; CYP21A2, 21-
hydroxylase; CYP11B1, 11��-hydroxylase; CYP11B2,
aldosterone synthase, corticosterone 18-methylcorticosterone
oxidase/lyase.
Efek pada Pria
Pada pria dengan fungsi gonad normal, konversi androstenedion adrenal
menjadi testosteron hanya berjumlah kurang dari 5% kecepatan produksi hormon
ini, dan jadi efek fisiologis yang ditimbulkan dapat diabaikan. Pada pria dewasa,
sekresi androgen adrenal yang berlebihan tidak menimbulkan pengaruh klinis:
namun, pada anak pria, akan menyebabkan pembesaran penis prematur dan
perkembangan dini ciri-ciri seks sekunder.
Efek pada Wanita
Pada wanita, fungsi adrenal abnormal seperti yang terjadi pada sindroma
Cushing, karsinoma adrenal dan hiperplasia kongenital menyebabkan sekresi
androgen-androgen dalam jumlah berlebihan, dan konversi perifernya
13
menyebabkan terbentuknya androgen berlebihan, yang bermanifestasi sebagai
akne, hirsutisme, dan virilisasi.
Evaluasi Laboratorium hormon korteks adrenal
Kortisol dan androgen-androgen adrenal diukur dengan assay spesifik
plasma yang telah berhasil menyederhanakan cara evaluasi disfungsi adrenal.
Beberapa assay urin, terutama yang berupa pengukuran kadar kortisol bebas
dalam urin 24 jam, juga dapat membantu. Sebagai tambahan, kadar ACTH dalam
plasma juga dapat ditentukan. Metode pengukuran steroid plasma biasanya
mengukur kadar hormon total sehingga angka yang dihasilkan dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan pada protein terikat dalam plasma. Lebih lanjut, karena
ACTH dan konsentrasi hormon-hormon adrenal dalam plasma mempunyai
fluktuasi yang tinggi, pengukuran tunggal belaka dalam plasma sering tidak dapat
dipercaya. Jadi, kadar dalam plasma harus dinilai dengan hati-hati, informasi yang
lebih spesifik biasanya didapat dengan melakukan uji supresi dan stimulasi yang
tepat.
ACTH Plasma
A. Metode Pengukuran : Pengukuran ACTH plasma sangat berguna untuk
mendiagnosa adanya disfungsi hipofisis-adrenal. Batas normal ACTH plasma,
menggunakan immunoradiometric assay sensitif, adalah 10-50 pg/mL (2,2-11,1
pmol/L).
B. Interpretasi : Kadar ACTH plasma sangat berguna untuk membedakan
disfungsi adrenal yang dasebabkan oleh kelainan hipofisis atau adrenal: (1) Pada
insufisiensi adrenal yang disebabkan oleh penyakit primer di adrenal, kadar
ACTH plasma meningkat, biasanya lebih dari 250 pg/mL. Sebaliknya pada
defisiensi ACTH hipofisis dan hipoadrenalisme sekunder, kadar ACTH plasma
kurang dari 50 pg/mL. (2) Pada sindroma Cushing yang disebabkan pleh tumortumor
adrenal primer yang mensekresi glukokortikoid, kadar ACTH plasma
tersupresi, dan kadar yang kurang dari 1 pg/mL (2,2 pmol/L) adalah diagnostik.
Pada pasien-pasien penyakit Cushing (hipersekresi ACTH hipofisis), ACTH
14
plasma normal atau meningkat sedang (20-200 pg/mL [4,4-44 pmol/L]). (3) Kadar
ACTH juga meningkat nyata pada pasien dengan hiperplasia adrenal kongenital
bentuk umum dan berguna dalam diagnosis dan penanganan kelainan-kelainan ini
-Lipotropin Plasma dan -Endorfin
 -Lipoprotein (-LPH) disekresikan dalam jumlah yang ekuimolar dengan
ACTH dan diukur dengan radioimmunoassay. Karena stabilitasnya yang lebih
besar dan memudahkan pengukuran, pemeriksaan ini mempunyai beberapa
keunggulan dibanding pengukuran ACTH. Kebanyakan assay -LPH juga
mengukur -endorfin, lalu pemisahan hormon-hormon ini dibutuhkan untuk
pengukuran -endorfin lebih tepat. Hal ini dapat dicapai dengan kromatografi;
namun, kegunaan klinis pengukuran -endorfin belum diketahui pasti.
Kortisol Plasma
A. Metode Pengukuran : Metode pengukuran kortisol plasma yang paling
sering dipakai adalah radioimmunoassay. Metode ini mengukur kortisol total
(baik terikat maupun bebas) dalam plasma. Metode yang mengukur kortisol bebas
dalam plasma belum tersedia untuk kegunaan klinis.
B. Interpretasl : Manfaat dari pemeriksaan tunggal kadar kortisol plasma
untuk diagnosis terbatas karena adanya sekresi alamiah kortisol yang berlangsung
episodik dan terjadinya pengikatan selama adanya stres. Seperti dijelaskan di
bawah, informasi yang lebih baik didapat dengan melakukan uji dinamis pada
aksis hipotalamus-hipofisisadrenal.
1. Nilai-nilai normal- Kadar kortisol plasma normal bervariasi tergantung
metode yang digunakan. Dengan radioimmunoassay dan competitive
protein-binding assay, kadar pada jam 8 pagi berkisar dari 3 sampai 20
g/dL (0,08-0,55 mol/L) dan rata-rata 10-12 g/dL (0,28-0,33
mol/L).
2. Kadar selama stres- Sekresi kortisol meningkat pada pasien-pasien
yang mengalami penyakit akut, selama pembedahan, dan setelah
15
trauma. Konsentrasi plasma dapat mencapai 40-60 g/dL (1,1-1,7
mol/L).
3. Keadaan tinggi estrogen- Konsentrasi plasma total juga meningkat
dengan meningkatnya kapasitas pengikatan CBG, yang paling sering terjadi
pada keadaan estrogen yang tinggi dalam sirkulasi, misal selama kehamilan dan
pemberian estrogen eksogen atau kontraseptif oral. Pada keadaan ini, kortisol
plasma dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dari normal.
4. Kondisi-kondisi lain- Kadar CBG dapat meningkat ataupun menurun pada
keadaan-keadaan lain, seperti yang. telah dibahas di atas pada bagian sirkulasi
dan metabolisme. Konsentrasi total kortisol plasma mungkin juga meningkat
pada anxietas berat, depresi endogen , kelaparan, anoreksia nervosa ,
alkoholisme dan gagal ginjal kronis.
Kortikosteroid dalam Urin
A. Kortisol Bebas :
1. Metode-metode pengukuran- Assay untuk ekskresi kortisol yang tidak
terikatdalam urin merupakan metode yang sangat baik untuk mendiagnosis
Sindroma Cushing. Normalnya, kurang dari 1% kortisol yang disekresi dalarn
urin adalah kortisol yang diekskresikan tanpa banyak perubahan. Pada keadaan
sekresi berlebihan, kapasitas ikatan CBG meningkat, sehingga kortisol bebas
plasma meningkat seperti juga ekskresinya dalarn urin. Kortisol bebas urin
diukur dari urin 24 jam dengan radioimmunoassay atau high-performance liquid
chromatography.
2. Nilai normal- Kisaran normal dari assay ini ialah 25-95 g/g kreatinin (8-
30 mo1/mol kreatinin), dan peningkatan konsentrasi dijumpai pada 90% pasien
dengan sindroma Cushing spontan.
3. Kegunaan diagnostik- Metode ini terutama berguna untuk membedakan
obesitas biasa dengan sindroma Cushing, karena kadarnya tidak meningkat pada
obesitas, seperti 17-hidroksikortikosteroid dalarn urin , kadarnya dapat
meningkat pada keadaan-keadaan serupa yang meningkatkan kortisol plasma ,
terrnasuk peningkatan ringan selama kehamilan. Uji ini tidak bermanfaat pada
16
insufisiensi adrenal, karena hilangnya sensitivitas pada kadar yang rendah dan
karena ekskresi kortisol yang rendah sering pula ditemukan pada orang normal.
B. 17-Hidroksikortikosteroid : Steroid-steroid dalam urin lebih jarang diukur
pada saat ini, karena adanya kegunaan pengukuran kortisol plasma dan
kortisol bebas urin. yang lebih besar.
1. Metode pengukuran- 17-hidroksikortikosteroid urin diukur dengan reaksi
kolorimetrik Porter-Silber, yang mendeteksi kortisol dan metabolit-metabolit
kortison.
2. Nilai normal- Nilai normal adalah 3-15 mg/ 24 jam (8,3-41,4 mol/24
jam) atau 3-7 mg/g (0,9-2.2 mmol/mol) kreatinin urin.
3. Perubahan ekskresi- Ekskresi total meningkat pada individu obesitas;
namun, nilai-nilai ini normal bila dikoreksi terhadap ekskresi kreatinin. 17-
Hidroksisteroid meningkat pada hipertiroidisme dan menurun pada
hipotiroidisme, ke.laparan, penyakit hepar, gagal ginjal dan kehamilan. Obatobatan
yang akan menginduksi nezim-enzim mikrosomal hati akan
meningkatkan konversi kortisol menjadi 6-hidroksikortisol, yang tidak terukur
dengan metode 17-hidroksikortikosteroid. Sehingga mengurangi ekskresi 17-
hidroksikortikosteroid (lihat pada bagian mengenai metabolisme).
4. Pengaruh obat-obatan- Pengaruh langsung antara obat-obatan dengan
reaksi kolorimetrik terjadi dengan spironolakton, klordiazepozid, hidroksizin,
meprobamat, fenotiazin dan kuinin.
Uji Supresi dengan Deksametason
A. Uji dengan Dosis Rendah : Prosedur ini digunakan untuk menetapkan
adanya sindroma Cushing tanpa memperhatikan penyebabnya. Deksametason,
suatu glukokortikoid poten, normal akan mensupresi pelepasan ACTH hipofisis
dengan akibat penurunan kortikosteroid dalam urin dan plasma, jadi akan
menyebabkan inhibisi umpan balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Pada sindroma Cushing, mekanisme ini sudah abnormal, dan sekresi steroid
gagal disupresi melalui cara yang normal. Deksametason dalarn dosis yang
17
digunakan tidak akan mengganggu pengukuran kortikosteroid di plasma dan
urin.
1. Uji supresi dengan deksametason 1 mg semalaman- Uji ini merupakan
uji skrining yang sesuai untuk sindroma Cushing. Deksametason, 1 mg per oral
diberikan sebagai dosis tunggal pada jam 11 malam, dan pagi harinya diambil
contoh plasma untuk ditentukan kadar kortisolnya. Sindroma Cushing
disingkirkan bila kadar kortisol plasma kurang dari 5 g/dL (0,137 mo1/L).
Bila kadarnya lebih besar dari l0 /dL (0,276 mol/L) pada tidak adanya
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan respons positif palsu-mungkin hal itu
disebabkan sindroma Cushing, dan diagnosis harus dikonfirmasi dengan
prosedur-prosedur lainnya.
Hasil positif palsu terjadi pada 15% pasien dengan obesitas dan pada 25%
pasien yang dirawat dan berpenyakit kronis. Penyakit-penyakit akut, depresi,
anxietas, alkoholisme, keadaan-keadaan tinggi estrogen, dan uremia dapat
memberikan hasil positif palsu. Pasien-pasien yang mendapat fenitoin, barbiturat,
dan zat-zat penginduksi enzim mikrosomal hati lainnya mungkin dapat
mempercepat metabolisme deksametason dan menyebabkan kegagalan untuk
mencapai kadar yang adekuat di plasma untuk dapat menekan ACTH.
2. Uji dosis rendah dua har-i Uji ini dilakukan dengan memberikan
deksametason, 0,5 mg setiap 6 jam selama 2 hari. Urin 24 jam diambil sebelum
dan pada hari kedua pemberian deksametason. Walaupun uji ini memberikan
informasi yang sama seperti pada uji 1 mg tapi membutuhkan waktu lebih banyak
dan pengumpulan urin. Namun ini sangat berguna bila hasil uij-uji lain
meragukan. Sebagai respons terhadap prosedur ini, pasien-pasien yang tidak
menderita sindroma Cushing mensupresi 17-hidroksikortikosteroid urin menjadi
kurang dari 4 mg/24 jam (10,1 124 jam) atau kurang dari 1 mg/g (0,3
mmol/mol) kreatinin urin pada hari kedua pemberian deksametason. Respons
pada kortisol bebas dalam urin kurang distandarisasi; namun, penurunan ekskresi
sampai kurang dari 25 g/24 jam (0,068 mol/24 jam) agaknya dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya sindroma Cushing. Walau respons kortisol
kurang banyak diteliti, kadar kortisol plasma pagi hari kurang dari 5 g/dL (0,137
18
mol/L) (diperoleh pada saat 6 jam setelah pemberian dosis terakhir
deksametason) dipertimbangkan sebagai respons normal.
B. Uji Dosis Tinggi : Uji deksametason dosis tinggi membedakan penyakit
Cushing (hipersekresi ACTH, ektopik) dari sindroma ACTH ektopik dan tumor
adrenal, karena aksis hipotalamus-hipofisis pada penyakit Cushing dapat ditekan
dengan dosis suprafisologis glukokottikoid, sementara sekresi kortisol bersifat
otonom pada pasien-pasien dengan tumor-tumor adrenal atau sindroma ACTH
ektopik sehingga tidak dapat tersupresi. Pengecualian terhadap respons-respons
ini dibahas pada bagian diagnosis sindroma Cushing.
1. Uji supresi dengan deksametason dosls tinggi semalaman- Uji ini lebih
cepat dan lebih sederhana untuk dilakukan dibandingkan dengan uji standar 2
hari yang akan dijelaskan di bawah ini. Setelah spesimen dasar untuk pemeriksaan
kortisol pagi hari diambil, diberikan deksametason dosis tunggal 8 mg
peroral yang diberikan pada jam 11 malam, dan kortisol plasma diukur pada jam
8 pagi hari berikutnya. Pada penyakit Cushing, kadar kortisol plasma akan
berkurang sampai kurang dari 50% nilai dasar pada 95% pasien, sedangkan
sekresi steroid pada pasien-pasien dengan sindroma ACTH ektopik atau tumortumor
adrenal yang memproduksi kortisol tidak tersupresi sampai sejumlah itu
dan biasanya tidak berubah. Uji dosis tunggal ini lebih terpercaya dibandingkan
dengan uji dosis tinggi selama 2 hari dan dapat dipertimbangkan sebagai suatu
prosedur terpilih.
2. Uji dosis tinggi selama 2 hari-- Uji ini dilakukan dengan memberikan
deksametason 2 mg peroral setiap 6 jam selama 2 hari. Pengumpulan contoh urin
24 jam sebelum dan pada hari kedua pemberian deksametason. Pasien-pasien
penyakit Cushing mengalami penurunan ekskresi 17-hidroksikortikosteroid
dalam urin sampai kurang dari 50% nilai dasar, sedangkan pasien-pasien tumortumor
adrenal dan sindroma ACTH ektopik biasanya hanya mengalami sedikit
atau tidak mengalami penurunan 17-hidroksikortikosteroid dalam urin
Cadangan Hipofisis-Adrenal
Penentuan cadangan hipofisis-adrenal digunakan untuk mengevaluasi
sumber-sumber dari hipofisis dan adrenal pasien dan untuk menilai kemampuan
19
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal terhadap stres. Pemberian ACTH langsung
akan menstimulasi sekresi adrenal; metirapon menghambat sintesis kortisol;
sehingga akan menstimulasi sekresi ACTH oleh hipofisis; dan hipoglikemia yang
diinduksi oleh insulin akan menstimulasi pelepasan ACTH dengan meningkatkan
sekresi CRH.
A. Uji Stimulasi ACTH:
1. Prosedur dan nilai-nilai normal- Uji stimulasi ACTH yang cepat
mengukur respons akut adrenal terhadap ACTH dan digunakan untuk
mendiagnosis adanya insufisiensi adrenal primer maupun sekunder. Digunakan
1-24-ACTH suatu zat sintetik dari manusia yang disebut sebagai tetrakosaktrin
atau kosintropin. Tidakdibutuhkan puasa, dan uji ini dapat dilakukan setiap saat
sepanjang hari. Sampel kortisol sebagai nilai dasar ditentukan; kosintropin
diberikan dengan dosis 0,25 mg secara intramuskuler atau intravena; dan sampel
plasma tambahan diambil dalam waktu 30 dan 60 menit setelah injeksi dilakukan.
Respons disebut normal bila kadar kortisol puncak lebih besar dari 15-18 g/dL
(0,41-0,50 mol/L) dengan peningkatan yang lebih dari 5 g/dL (0,137 mol/L).
Jika kadar 20 g/dL (0,55 L) diperloleh, maka respons itu normal tanpa
memperhatikan peningkatannya.
2. Respons subnormal- Bila respons kortisol terhadap uji stimulasi ACTH
yang cepat tidak adekuat, maka terdapat insufisiensi adrenal. Pada insufisiensi
adrenal primer, destruksi sel-sel korteks akan mengurangi sekresi kortisol dan
meningkatkan sekresi ACTH hipofisis. Sehingga, adrenal sudah distimulasi secara
maksimal, dan tidak terdapat lagi peningkatan kortisol lebih lanjut bila diberikan
ACTH eksogen; jadi, terdapat penurunan cadangan adrenal. Pada insufisiensi
adrenal sekunder akibat defisiensi ACTH; terdapat atrofi zona fasikulata dan
retikularis, jadi adrenal tidak berespons terhadap stimulasi akut pemberian ACTH
eksogen. Baik pada tipe primer ataupun sekunder, suatu respons yang subnormal
terhadap uji stimulasi ACTH yang cepat secara akurat menunjukkan adanya
defisiensi respons aksis terhadap keadaan hipoglikemia yang disebabkan insulin,
metirapon dan stres akibat pembedahan.
20
3. Respons yang normal- Respons normal terhadap uji stimulasi ACTH yang
cepat menyingkirkan kemungkinan adanya insufisiensi adrenal primer (dengan
secara langsung mengukur cadangan adrenal) dan insufisiensi adrenal sekunder
yang nyata disertai adanya atrofi adrenal. Namun, respons normal tidak
menyingkirkan kemuhgkinan adanya defisiensi ACTH parsial (penurunan
cadangan hipofisis) pada pasien-pasien yang sekresi ACTH basal cukup untuk
mencegah atrofi adrenokortikal. Pasien- pasien ini mungkin tidak sanggup untuk
meningkatkan sekresi ACTH lebih lanjut sehingga mungkin menunjukkan respons
ACTH hipofisis yang subnormal terhadap stres atau hipoglikemia. Pada pasienpasien
tersebut, uji-uji lebih lanjut dengan metirapon atau hipoglikemia mungkin
perlu dilakukan. Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat bagian mengenai diagnosis
insufisiensi adrenokortikal.
4. Sekresi aldosteron- Uji stimulasi ACTH cepat juga akan menyebabkan
peningkatan sekresi aldosteron sehingga digunakan untuk membedakan
insufisiensi adrenokortikal primer dan sekunder. Pada bentuk primer yang disertai
destruksi pada korteks, kortisol dan juga aldosteron telah berespons terhadap
pemberian ACTH eksogen. Tetapi, pada insufisiensi adrenal sekunder, zona
glomerulosa, yang dikontrol oleh sistim renin-angiotensin, biasanya normal.
Sehingga, respons aldosteron terhadap ACTH eksogen normal. Peningkatan
normal aldosteron dalam plasma melebihi 4 ng/dL (111 pmol/L).
B. Uji dengan Metirapon : Uji dengan metirapon dilakukan untuk
mendiagnosis adanya insufisiensi adrenal dan untuk menilai cadangan hipofisisadrenal.
Prosedur melakukan uji ini dibahas terperinci pada Bab 2. Metirapon
menghambat sintesis kortisol dengan cara menghambat enzim 11(3hidroksilase
yang mengubah 11-deoksikortisol menjadi kortisol. Hal ini akan menyebabkan
stimulasi sekresi ACTH, yang pada akhirnya akan meningkatkan sekresi dan
kadar 11-deoksikortisol plasma. Kadar 17-hidroksikortikostiroid dalam urin juga
meningkat karena meningkatnya ekskresi metabolit-metabolit 11-deoksikortisol
yang terukur dengan metode ini. Uji metirapon semalaman sering digunakan dan
paling cocok dilakukan untuk pasien-pasien yang diduga mengalami defisiensi
ACTH hipofisis; pasien-pasien yang mengalami kegagalan adrenal primer
21
biasanya dievaluasi dengan uji stimulasi ACTH yang cepat seperti yang dibahas di
atas dan dituturkan pada bagian mengenai diagnosis insufisiensi adrenokortikal.
Respons normal terhadap uji me tirapon semalaman adalah kadar 11-
deoksikortisol plasma yang lebih dari 7 g/dL (0,19 mo1/L) dan ini
menunjukkan sekresi ACTH serta fungsi adrenal yang normal. Respons yang
subnormal memastikan adanya insufisiensi adrenokortikal tetapi tidak dapat
membedakan bentuk yang primer atau sekunder. Respons normal terhadap
metirapon dengan akurat menunjukkan respons normal terhadap stres dari aksis
hipotalamus hipofisis dan berhubungan erat pula dengan respons terhadap
hipoglikemia yang diinduksi oleh insulin.
C. Insulin-Induced Hypoglycemia Testing : Perincian mengenai prosedur
ini dibahas pada Bab 2. Hipoglikemia akan menginduksi respons stres di susunan
saraf pusat, meningkatkan pelepasan CRH, dan dengan cara in i akan
meningkatkan sekresi kortisol dan ACTH. Jadi hal tersebut seakan-akan
mengukur integritas aksis dan kemampuannya untuk berespons terhadap adanya
stres. Respons kortisol plasma yang normal akan meningkat sampai lebih dari 8
g/dL (0,22 mol/L,) dan mencapai kadar puncak lebih dari 18-20 g/dL (0,50-
0,50 g/L). Respons ACTH plasma terhadap hipoglikemia belum dapat
distandarisasi dengan memuaskan. Respons kortisol plasma yang normal terhadap
hipoglikemia berarti menyingkirkan adanya insufisiensi adrenal dan penurunan
cadangan hipofisis. Jadi, pasein-pasien yang berespons nomr al tidak
membutuhkan terapi kortisol selamamasa sakit atau pembedahan.
D. Uji CRH : Respons-respons meningkat pada pasien dengan kegagalan
adrenal primer dan tidak ada pada pasien dengan hipopituitarisme. Respons
lambat dapat terjadi pada pasien-pasien dengan kelainan hipotalamus.
Uji laboratorium Androgen Adrenal
Kelebihan androgen biasanya dievaluasi dengan mengukur kadar basal
hormon-hormon tersebut, karena uji-uji stimulasi dan supresi tidak bermanfaat
seperti yang didapat pada kelainan-kelainan yang mengenai glukokortikoid.
22
A. Kadar di Plasma : Assay yang sekarang dapat dilakukan mencakup kadar
DHEA, DHEA sulfat, androstenedion, testosteron dan dihidrotestosteron total
dalam plasma; uji-uji ini mempunyai manfaat diagnostik yang lebih besar
dibandingkan pengukuran metabolit-metabolit androgen di urin secara tradisional
yang diukur sebagai 17-ketosteroid di urin.
Karena terdapat dalam jumlah besar, DHEA sulfat dapat diukur secara
langsung dalam plasma tanpa diekstraksi. Namun, karena mempunyai struktur
yang mirip dan kadar plasma yang rendah, androgen-androgen lain memerlukan
ekstraksi dan tindakan pemurnian lebih dahulu sebelum kadarnya dapat diukur.
Hal ini dilakukan dengan menambahkan pelarut ekstraksi diikuti dengan
pemeriksaan kromatografi, dan steroid-streoid yang telah dimurnikan kemudian
diukur dengan radioimmunoassay atau competitive protein-binding radioassay.
Metode-metode ini memungkinkan kita untuk mengukur steroid-steroid multipel
dalam volume yang kecil di plasma.
B. Testosteron Bebas : Testosteron bebas dalam plasma (yaitu yang tidak
terikat dengan SHBG) dapat diukur dan ini merupakan pengukuran yang lebih
langsung terhadap testosteron yang aktif secara biologis dalam sirkulasi daripada
kadar total diplasma. metode ini sebelumnya memerlukan pemisaahan dari pada
kadar total di plasma. Kadar testosteron bebas dal am plasma pada wanita-wanita
normal rata-rata 5 pg/mL (17,3 pmoUL), yang merupakan sekitar 1% kadar
testosteron total. Pada wanita-wanita dengan hirsutisme, kadarnya rata-rata 16
pg/mL (55,4 pmol/L) dengan batas variasi yang luas .
C. Kapasitas Ikatan SHBG : Kapasitas ikatan SHBG dapat diukur, walaupun
metode ini tidak lazim digunakan. Kapasitas ikatan SHBG lebih tinggi pada wanita;
meningkat pada kehamilan, pada wanita-wanita yang menerima terapi estrogen
eksogen, sirosis hepatis dan hipertiroidisme, serta menurun pada wanita dengan
hirsutisme dengan androgen-androgen yang meningkat dan pada pasien-pasien
akromegali.
Regulasi Sekresi Kelenjar Adrenal
23
A. Sekresi CRF dan ACTH: ACTH adalah hormon tropik dari zona
fasikulata dan retikularis dan merupakan pengatur utama dari produksi kortisol
serta androgen di korteks adrenal. Sebaliknya ACTH diatur oleh hipotalamus dan
susunan saraf pusat melalui neurotransmiter dari corticotropin releasing factor
(CRF).
B. Pengaruh ACTH pada Korteks Adrenal: Adanya aliran ACTH ke
korteks adrenal menyebabkan sintesis dan sekresi steroid dengan cepat ; kadar
hormon ini dalam plasma meningkat dalam beberapa menit setelah pemberian
ACTH. ACTH meningkatkan RNA, DNA, dan sintesis protein. Stimulasi kronis
menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi korteks adrenal; sebaliknya kekurangan
ACTH menyebabkan berkurangnya steroidogenesis disertai dengan atrofi korteks
adrenal, berkurangnya berat kelenjar dan berkurangnya kadar protein serta asam
nukleat.
Gambar 6 . Mekanisme kerja ACTH terhadap sel-sel yang mensekresi kortisol pada dua
zone bagian dalam darii kortek adrenal. Ketika ACTH terikat pada
reseptornya (R), adenilil siklase (AC) diaktivasi melalui Gs. Berakibat
peningkatan cAMP yang mengaktivasi protein kinase A, dan kinase
fosforilasi kolesteril ester hidrolase (CEH), meningkatan aktivitasnya.
Akibatnya, lebih banyak kolesterol bebas dibentuk dan diubah menjadi
pregnenolon dalam mitokondria. (Ganong WF: Review of Medical
Physiology, ed Mill. Appleton & Lange, 1993.)
24
C. ACTH dan Steroidogenesis : ACTH berikatan dengan afinitas yang kuat
pada reseptor plasma membran sel korteks adrenal, dari ini akan mengaktifkan
adenilat siklase, meningkatkan cAMP, yang seterusnya mengaktifkan fosfoprotein
kinase intraselular (Gambar 6). Proses ini merangsang langkah dasar dari
perubahan kolesterol menjadi Δ5-pregnenolon dan mengawali steroidogenesis.
Mekanisme pasti perangsangan ACTH dari enzim pemecahan rantai samping
(P450scc) belum diketahui, sebagaimana juga kepentingannya secara relatif;
namum, ACTH mempunyai sejumlah efek termasuk meningkatkan pembentukan
kolesterol bebas sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas kolesterol esterase dan
menurunnya kolesteril ester sintetase; meningkatnya ambilan lipoprotein oleh
korteks adrenal; meningkatnya kadar dari fosfolipid tertentu, yang akan meningkatkan
terurainya rantai samping_dari kolesterol; dan meningkatkan pengikatan dari kolesterol
pada sitokrom P-450scc, enzim dalam mitokondri a.
D. Kontrol Neuroendokrin : Sekresi kortisol sangat erat hubungannya dengan
pengaturan ACTH, dan kadar plasma kortisol paralel dengan kadar ACTH . Didapat 3
mekanisme kontrol neuroendokrin: (1) episode fungsi dan irama sirkadian dari ACTH (2)
respons aksis hipotalamus hipofisis terhadap stres ( 3) umpan balik yang menghambat dari
kortisol terhadap sekresi ACTH.
1. Irama Sirkadian- Irama sirkadian yang didahului oleh sekresi episode ini adalah
hasil kerja susunan saraf pusat yang mengatur jumlah dan banyaknya sekresi episodik
dari CRF dan ACTH. Sekresi kortisol pada petang hari renda h dan terus menurun selama
beberapa jam pertama/waktu tidur, di mana pada waktu itu kadar kortisol plasma dapat
tidak terdeteksi. Selama jam ketiga dan kelima waktu tidur, terjadi peningkatan sekresi
kortisol; tetapi waktu sekresi maksimal dimulai pada ma sa tidur jam keenam sampai jam
kedelapan dan kemudian mulai menurun setelah bangun tidur. Sekitar setengah dari
keluaran kortisol harian disekresikan pada saat ini. Sekresi kemudian menurun selama
siang hari, dengan episode sekretori lebih jarang dan jumlahnya berkurang, namun ada
peningkatan sekresi kortisol seb agai respons terhadap makanan dan latihan.
Walau ini adalah pola umum terus-menerus, namun ada variabilita s intra indivudu
dan interindividu, dan irama sirkadian dapat berubah oleh perubahan pola tidur; cahaya
agak gelap, dan waktu pemberia n makan. Irama ini juga diubah oleh (1) stres fisik seperti
25
penyakit berat, pembedahan, trauma, atau kelaparan; (2) stres psikologis, termasuk
anxietas berat, depresi endogen, dan fase manik pada psikosa manik-depresif; (3)
kelainan susunan saraf pusat dan hipofisis; (4) sindroma Cushing; (5) penyakit hati dan
kondisi lain yang mempengaruhi metabolisme kortisol; (6) gagal ginjal kronis; dart (7)
alkoholisme. Kriptoheptadin menghambat irama sirkadian, mungkin oleh efek
antiserotonergik, sementara ob at-obat lain biasanya tidak mempu nyai efek.
2. Respons terhadap stres- Sekresi ACTH dan kortisol plasma juga secara
karakteristik mempunyai respons terhadap stres fisik. Jadi sekresi ACTH dan kortisol
plasma dimulai dalam beberapa menit setelah terjadi stres seperti pada pembedahan dan
hipoglikemia , dan respons ini menghilangkan periodisitas sirkadian jika stres ini
berlangsung terus. Respons terhadap stres yang berasal dari susunan saraf pusat
menunjukkan sekresi CRH dan juga sekresi ACTH hipofisis. Respons stres terhadap
ACTH dan kortisol dihilangkan dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
sebelumnya dan juga pada sindroma Cushing yang spontan; sebaliknya respons sekresi
ACTH meningkat bila dilakukan adrenalektomi. Pengaturan aksis hipot alamus-hipofisisadrenal
terikat kepada sistem imun. Contohnya, interleukin-1 (IL-1) merangsang sekresi
ACTH, dan kortisol menghambat sintesis IL-2.
Jalur reproduksi dihambat pada berbagai tingkat poros HPA (Gambar 7). CRH
akan menekan pelepasan GnRH melalui pelepasan β-endorphin neuron arkuata.
Dilain pihak glukokortikoid akan memberikan efek penghambatan pada neuron
GnRH, hypofise dan gonadnya sendiri dan juga adanya resistensi steroid terhadap
hormon-hormon tersebut (8,9). Jadi, steroidogenesis dihambat baik pada ovarium
maupun pada testis, disertai dengan penghambatan pada pulsasi GnRH
hypothalamus. Sitokin juga berperan pada berbagai tingkat (10).
3. Inhibisi umpan-balik- Regulasi utama yang ketiga dar i sekresi ACTH dan kortisol
adalah pengaruh inhibisi umpan-balik dari sekresi glukokortikoid oleh CRF, ACTH dan
kortisol. Pengaruh inhibisi umpan balik dari glukokortikoid terjadi pada tingkat hipofisis
dan hipotalamus dan mempengaruhi dua mekanisme yang berbeda-pengaruh
inhibisi umpan-balik yang cepat dan lambat .
Inhibisi umpan balik cepat dari sekresi ACTH sebanding dengan kecepatan
meningkatnya glukokortikoid dan bukan oleh dosis yang diberikan. Fase ini
26
cepat, sekresi basal dan stimulasi sekresi ACTH mengurang dalam waktu
beberapa menit setelah kadar glukokortikoid dalam plasma meningkat. Pengaruh
efek inhibisi umpan balik ini hanya sementara dan berlangsung kurang dari 10
menit, sangat mungkin efek ini tidak melewati reseptor sitosol
Gambar 7. Skema hubungan antara poros hypothalamicpituitary-
adrenal dengan pertumbuhan dan reproduksi .
Hiperaktivasi stress yang berkepanjangan akan mengarah ke
osteoporosis dan sindroma metabolik. CRH: corticotropinreleasing
hormone, GnRH: gonadotropin-releasing hormone,
ACTH: adrenocorticotropic hormone, LH: luteinizing
hormone, FSH: follicle-stimulating hormone, GHRH: growth
hormone releasing hormone, STS: somatostatin, GH: growth
hormone, SmC: somatomedin C. Aktivasi dengan garis tebal,
garis terputus untiuk inhibi.
glukokortikoid, tetapi lebih dapat diterima bekerja melalui membran sel.
Inhibisi umpan balik lambat setelah pengaruh awal cepat dari efek
glukokortikoid selanjutnya terjadi penekanan sekresi CRH dan ACTH dengan
mekanisme yang tergantung pada waktu dan dosis. Jadi, dengan pemberian
glukokortikoid terus menerus kadar ACTH terus menurun dan tidak memberikan
respons terhadap stimulasi. Efek terakhir dari pemberian glukokortikoid jangka
27
panjang adalah supresi pelepasan CRH dan ACTH dan atrof i dari zona
fasikulata serta retikularis sebagai akibat kekurangan ACTH. Aksis hipotalamushipofisis-
adrenal yang inhibisi umpan balik yang lambat ternyata bekerja
melalui reseptor klasik glukokortikoid , jadi mempengaruhi sintesis messenger
RNA untuk pro-opiomelanokortin sebagai prekursor pembentukan ACTH.
E. Regulasi produksi androgen. Produksi androgen pada orang dewasa
juga diatur oleh ACTH; DHEA dan androstenedion menunjukkan adanya
periodik sirkadian bersama semua dengan ACTH dan kortisol. Sebaga i
tambahan, konsentrasi DHEA dan androstenedion dalam plasma meningkat
dengan cepat pada pemberian ACTH dan tertekan pada pemberian
glukokortikoid, yang memastikan pengaruh sekresi ACTH endogen. DHEA
sulfat, karena mempunyai bersihan metabolik yang lama, tidak menunjukkan
irama diurnal. Jadi, sekresi androgen adrenal diatur oleh ACTH dan pada
umumnya sekresi hormon ini terjadi bersamaan dengan kortisol. Eksistensi
pemisahan hormon hipofisis anterior yang mengatur sekresi telah diketahui tapi
belum pernah dibuktikan. Beberapa faktor ini telah diidentifikasi pada ekstrak
hipofisis.
Gambar 8. Ilustrasi skematik Pengaturan androgen adrenal.
28
Kesimpulan
Korteks kelenjar adrenal menghasilkan hormon streroid yang pada masa istirahat
dan dalam keadaan stres glukokortikoid mengatur kardiovaskuler, keseimbangan
metabolik dan sistem imun. Mineralokortikoid dilain pihak akan mengatur volume
darah dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Androgen adrenal berperan sebagai
prekursor androgen dan estrogen yang lebih poten. Adrenal korteks juga
menghasilkan sitokin, peptida aktif dan berbagai hormon lain.
Kepustakaan
1. Bornstein SR, Ehrhart-Bornstein M, Usadel H, et al Morphological
evidence for a close interaction of chromaffin cells with cortical cells
within the adrenal gland. Cell Tissue Res 1991;265:1-9
2. Bornstein SR, González-Hernández JA, Ehrhart-Bornstein M, et al
Intimate contact of chromaffin and cortical cells within the human adrenal
gland forms the cellular basis for important intraadrenal interactions. J
Clin Endocrinol Metab 1994;78:225-232
3. Ehrhart-Bornstein M, Hinson JP, Bornstein SR, et al . Intraadrenal
interactions in the regulation of adrenocortical steroidogenesis. Endocrine
Reviews 1998;19(2):101-143
4. Dinarello CA The biology of niterleukin 1. In: Kishimoto T (ed)
Interleukins: Molecular Biology and Immunology. Karger, Basel, 1992;pp
1-32
5. Wolkersdörfer GW, Lohmann T, Marx C, et al Lymphocytes stimulate
dehydroepiandrosterone production through direct cellular contact with
29
adrenal zona reticularis cells: a novel mechanism of immune-endocrine
interaction. J Clin Endocrinol Metab 1999;84:4220-4227
6. Wassen FW, Moerings EP, Van TH, et al Effects of interleukin-1 beta on
thyrotropin secretion and thyroid hormone uptake in cultured rat anterior
pituitary cells. Endocrinology 1996;137:1591-1598
7. Lyson K, McCann SM The effect of interleukin-6 on pituitary hormone
release in vivo and in vitro. Neuroendocrinology. 1991; 54:262-266
8. Rabin D, Schmidt P, Gold PW, et al Hypothalamic-pituitary-adrenal
function in patients with the premenstrual syndrome. J Clin Endocrinol
Metab 1990; 71(5):1158-62
9. Rivier C, Rivier J, Vale W Stress-induced inhibition of reproductive
function: Role of endogenous corticotropin releasing factor. Science
1986; 231(4738):607-9
10. Tsigos C, Papanicolaou DA, Kyrou I, et al Dose-dependent effects of
recombinant human interleukin-6 on the pituitary-testicular axis. J
Interferon Cytokine Res. 1999;19(11):1271-6.

peranan leukosit sebagai anti inflamasi alergik dalam t

Dewasa ini penyakit alergi sudah merupakan penyakit dimana para sarjana
Kedokteran telah mengembangkan, baik terapi maupun penelitian-penelitian tentang
perkembangan, pencegahan dan pengobatan alergi maupun penyakit-penyakit, yang
berhubungan dengan alergi.
Von Pirquet (1906), memperkenalkan istilah alergi untuk suatu keaadaan
yang disebabkan oleh reaksi imunoligik spesifik. Yang ditimbulkan oleh allergen
sehingga pada umumnya dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap
benda asing, leukosit sangat berperan.
Dengan berkembangnya biologi molekuler dewasa ini para ahli imunologi
mengungkapkan pada keadaan alergi akan dilepas mediator-mediator inflanlasi oleh
sel system imun. Dalam menghadapi penyakit-penyakit yang didasari iflanlasi alergi,
seperti asma bronchial, rinitis alergika, dermatitis urtikaria, alergi obat, alergi
makanan maupun alergi dari toksin bakteri yang menyerang ginjal (glomerulonepritis
chronis yang disebabkan toksin stretococus), untuk ini perlu penaganan yang serius.
Mediator-mediator inflamasi yang dilepas akan menyebabkan kontraksimotot polos,
meningkatkan sekresi mukos, meningkatkan aliran darah, meningkatkan permea
bilitas kapiler dan pengerahan sel-sel inflamasi, kesemua kejadian ini disebut
“inflamasi alergik". Sel-sel darah yang berperan dalam kejadian inflamasi alergik ini
adalah sel darah putih atau leukosit dengan turunanya; neutrofil, basofil, aosinofil,
limfosit, mastosit makrofag, sel plasma, sel epitel dan lain-lain, akhir-akhir ini para
ahli mengungkapkan pula keterlibatan mediator inflamasi TNF. Neuropeptida, IL-2.
Histologi leukosit
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah
putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000
sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel
darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang
bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau
eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral
basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis
leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos
antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah
4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel

darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun
persentase khas dewasa tercapai.
Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya
persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah
harus diambil.
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel
ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um,
satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik
(0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran
jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal
(protein Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria,
apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis
depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil
dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam
penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses
fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil
berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya.
Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus
membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil.
Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan
glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup
dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh
bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh
neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan
glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um
(sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma
mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang
dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam,
katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai
pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih
selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi,
ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek
antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan
mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah
oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah
eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti
satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil
terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya
ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak
lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan
keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini
dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai
hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit
darah.Normal, inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti
padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali,
sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu
dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya
dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada
permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit
dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan
limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan
akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti
vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan
berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal,
diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau
lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.
Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit
Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian
kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil.
Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti.
Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk
imunoglobulin dan komplemen.
Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk
kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan
bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan
interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari
timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan
tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa
diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke
timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T,
kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum
tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun.
Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai
reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap
diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkembang
didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat
secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut
antibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer
sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis
hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai
retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul
antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi
penuh dengan ribosom bebas.
Pengertian Antigen dan Antibodi
Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen,
anti-melawan, + genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi
suatu respon dari tuan rumah, respon ini dapat selular, humoral atau keduanya.
Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor atau berupa makro molekul, seperti
protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa saja spesitas respon
imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari antigendetenniminan
antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri
atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek
antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan
satu spectrum respon humoral dan selular.
Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang
bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang
merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang
terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B.
Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua
rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan
disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak
jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi
kelas-kelas yang lain.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi
tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif
terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh
terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas.
Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen
dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitu
merusak jaringan.
Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan
derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan
mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika,
urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi
kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ
tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi
tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis
sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit.
Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE
(imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel
plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada
membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas
dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut.
Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody
komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi.
Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam darah) dan pelepasan
zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang
bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi
reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
Imonopatogenesis.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap
sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan
atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko
dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui
terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase cepat
(RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah
berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic
reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian,
dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan
alergan/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown
dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan
sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC) dan berada dimukosa (dalam
dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada permukaan mukosa
ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari malergen
tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung
dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel
APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II
(mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan
dipermukaan sel APC; kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +,
dimana Tho), jika selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap
molekul komplek peptide –MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul
tersebut.
Akibat selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin - I
(IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal
kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai, maka akan
terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekul
imunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4
dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B
sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E
(IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio
dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di
mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
akan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik
 2003 Digitized by USU digital libraray 6
(mastosit atau sel basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta
dengan allergen spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator alergis. Reaksi alergis
yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat
(RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-molekul kemotaktik
(penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut
terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian
(Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan
jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan
sasaran.
Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai
mediator, antara lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan
melepas histamin, leukotriens dan cytokines. Disamping itu berbagai sel
mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu
mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi.
Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199.
Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998.
Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil
chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel
eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin
inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang
mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi
basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5 mempengaruhi
sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang
mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM
(Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil,
GM=CSF dan IL-3
IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5)
Fibronektin
Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil.
IL-5
IL-3.GM=CSF,IL-8
Lain-lain
Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan
GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel dan
mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan
kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity
meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi
pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes (
Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin menggunakan efeknya pada berbagai
sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel
darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan
vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat,
 2003 Digitized by USU digital libraray 7
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White
1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil,
eosinofil, neutrofil dan monosit.
Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang
paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita
ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot
polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta
degranulasi platelet.(trombosit).
Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan
tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam
tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada
reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet
activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF diproduksi
oleh mastosit, macrofag dan eosinofil. Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi
neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang akumulasi eosinofil ke
permukaan endothelium yang merupakan langkah awal pengerahan eosinofil
kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein basa yang
menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan
menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan
monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil
lainya memasuki jaringan. Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting
sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber dari sitokin multifungsi
( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4,
IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan
oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan
bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE
reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur
eosinofil.
PENUTUP
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia
yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organisme
terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya.
Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri
(makromolekuler organisme sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan
mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing yang mungkin merupakan
molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal
dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.
 2003 Digitized by USU digital libraray 8
KEPUSTAKAAN
1. Junguera, Lcarlos : Basik Histologi edition 8 1977.
2. C. Roland leeson, M.D, Ph.D: Textbook of Histology edition V 1990.
3. Iwin Sumarman, Strategi Rasional Pengelolaan Rinitis Alergis Perenial Buku
naskah Simposium Penanganan Alergi Secara Rasional Padang 2000.
4. Rusdi Aziz DR. Peranan hyposensitisasi alamiah pada pengobatan rasional
terhadap kasus alergi.
Naskah symposimll Penanganan Allergi Secara Rasional Padang 2000
5. Karnen Baratawijaya Immunologi Dasar. Didalam Soepannan Sarwono Waspadji,
edisi Ilmu penyakit Dalams, edisi 2. Jakarta: GayaBaru 1996

refleks patologis

Reflek Patologis


1. Reflek Hoffman – Tromer

Jari tengah klien diekstensikan, ujungnya digores, positif bila ada gerakan fleksi pada ari lainnya


2. Reflek Jaw

Kerusakan kortikospinalis bilateral, eferen dan aferennya nervous trigeminus, dengan
mengertuk dagu klien pada posisi mulut terbuka, hasil positif bila mulut terkatup


3. Reflek regresi

Kerusakan traktus pirimidalis bilateral / otak bilateral


4. Reflek Glabella

Mengetuk dahi diantara kedua mata, hasilnya positif bila membuat kedua mata klien
tertutup


5. Reflek Snout

Mengutuk pertengahan bibir atas, positif bila mulutnya tercucur saliva


6. Reflek sucking

Menaruh jari pada bibir klien, positif bila klien menghisap jari tersebut


7. Reflek Grasp

Taruh jari pada tangan klien, positif bila klien memegangnya


8. Reflek Palmomental

Gores telapak tangan didaerah distal, positif bila otot dagu kontraksi


9. Reflek rosolimo

Ketuk telapak kaki depan, positif bila jari kaki ventrofleksi


10. Reflek Mendel Bechterew
Mengetuk daerah dorsal kaki2 sebelah depan,positif bila jari kaki ventrofleksi

kemoterapi

KEMOTERAPI
Posted on 00:18 No Comments
Label: Kemoterapi, Keperawatan/Nursing Tutorial

Pada pasien kanker ada empat terapi modalitas yang digunakan yaitu pembedahan, terapi radiasi, bioterapi dan kemoterapi.
Pengertian
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan sitotoksik dalam terapi kanker. Kemoterapi bersifat sistemik . Ada empat cara penggunaan kemoterapi :
1. Terapi adjuvant : suatu sesi kemoterapi yang digunakan sebagai tambahan dengan terapi modalitas lainnya. Dan ditujukan untuk mengobati mikrometastasis
2. Kemoterapi neo adjuvant :pemberian kemoterapi untuk mengecilkan tumor sebelum dilakukannya pembedahan pengangkatan tumor
3. Terapi primer : terapi pasien dengan kanker local alternative yang ada tidak terlalu efektif
4. Kemoterapi kombinasi : pemberian dua atau lebih zat kemoterapi dalam terapi kanker yang menyebabkan setiap pengobatan memperkuat aksi obat lainnya ( sinergis)
Prinsip pengobatan kemoterapi
Obat-obat kemoterapi sangat aktif dalam melawan sel yang membelah. Sel-sel normal yang pertumbuhannya cepat sangat dipengaruhi oleh agen kemoterapi. Kemoterapi diberikan dalam jadwal yang paling efektif untuk membunuh tumor
Klasifikasi Obat
Obat-obat kemoterapi diklasifikasikan berdasarkan aktivitas farmakologi dan pengaruhnya terhadap reproduksi sel. Jenis obat-obat kemoterapi sbb:
1. Obat-obat spesifik fase siklus sel berpengaruh terhadap sel-sel yang sedang mengalami pembelahan contohnya antimetabolit, alkaloid tanaman vinca dan zat lainnya seperti asparaginase dan dacarbazine
2. Obat-obat fase siklus sel nonspesifik berpengaruh pada sel yang membelah atau istirahat misalnya agens alkilasi, antibiotic antitumor, nitrourea agen lainnya seperti prokarbazin
3. Agens alkilasi bersifat nonspesifik pada fase siklus sel. Mereka bekerja dengan membentuk ikatan molekul dengan asam nukleat, yang mempengaruhi duplikasi asam nukleat sehingga mencegah mitosis
4. Antibiotik (agens antitumor) bersifat nonspesifik yang mengganggu transkripsi DNA
5. Antimetabolit bersifat spesifik dengan menghambat enzim essensial yang diperlukan dalam sintesis DNA
6. Hormon-hormon yang bersifat nonspesifik. Zat-zat kimia yang kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin ini mengubah lingkungan sel dengan mempengaruhi permeabilitas sel
7. Nitrourea yang bersifat spesifik dengan kemampuan untuk melewati sawar darah otak
8. Kortikosteroid memberikan efek antiinflamasi pada jaringan tubuh
9. Alkaloid tanaman vinca bersifat spesifik .Zat ini memberikan efek sitotoksik dengan mengikat protein mikrotubular selama fase metaphase yang menyebabkan terhentinya mitosis
10. Agen lainnya dengan kerja yang beragammisalnya produksi enzim yang bekerja secara primer dengan cara menghambat sintesis protein
Prosedur pemberian kemoterapi
1. Memastikan identifikasi klien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian sesuai dengan order
2. Cek riwayat alergi obat bersama klien
3. Mengantisipasi dan merencanakan kemungkinan terjadinya efek samping atau toksisitas sistemik
4. Membahas data lab dan pemeriksaaan lainnya
5. Memastikan inform consent
6. Memilih peralatan yang sesuai
7. Menghitung dosis dan menyediakan obat dengan teknik aseptic
8. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga
9. Memberikan obat antiemetic atau obat lain yang disarankan
10. Mempersiapkan lokasi pemasangan infuse atau jalur vena sentral
11. Memberikan agens kemoterapi dengan cara obat dimasukkan kedalam botol cairan infuse yang diberikan
12. Memantau pasien pada masa interval sesi pemberian obat
13. Membuang seluruh peralatan yang telah digunakan atau tidak digunakan dalam suatu tempat yang aman dari kebocoran


Persiapan obat
Untuk memastikan penyiapan yang aman semua obat kemoterapi harus dipersiapkan dari kemasannya yang dimasukkan kedalam sebuah lemari khusus yang aman.
1. Cuci tangan sebelum dan setelah mempersiapkan obat
2. Batasi akses ke daerah penyiapan obat
3. Letakkan penampung berlabel untuk tumpahan obat dekat dengan area penyiapan
4. Gunakan sarung tangan sebelum memegang obat
5. Persiapan obat menggunakan teknik aseptic
6. Hindari makan, minum, merokok mengunyah permen karet, menggunakan kosmetik dan menyimpan makanan dekat area penyiapan obat
7. Letakkan bantalan absorben pada daerah kerja
8. Gunakan peralatan luer lok
9. Buka botol atau ampul obat jauh dari badan
10. Buka obat menggunakan jarum filter hidrofobik atau pin untuk menghindari semburan obat
11. Gosok daerah sekeliling leher botol dengan alcohol sebelum membukanya
12. Susun obat-obatan dalam lemari yang sesuai standar
13. Tutup ujung jarum dengan kasa steril atau dengan apus alcohol pada saat mengeluarkan udara dari spuit
14. Beri label setiap obat kemoterapi
15. Bersihkan setiap tumpahan obar secepatnya
16. Bawa obat ke tempatnya dalam tempat yang anti bocor
Pemberian obat
1. Gunakan peralatan pelindung (sarung tangan, baju penutup dan kacamata)
2. Beritahu pasien bahwa obat-obat kemoterapi ini berbahaya terhadap sel normal dan tindakan perlindungan dilakukan untuk mengurangi pajanan obat
3. Letakkan bantalan absorben beralas plastic di bawah slang selama pemberian obat untuk menyerap setiap tumpahan atau kebocoran
4. Jangan membuang alat-alat atau obat yang tidak digunakan dekat dengan area perawatan obat
Pembuangan peralatan dan obat-obat yang tidak digunakan
1. Jangan mengaitkan atau menutup kembali jarum atau spuit yang patah
2. Letakkan setiap peralatan yang telah digunakan secara lengkap dan utuh pada tempat penampungan antibocor dan tidak tembus yang diberi label yang sesuai
3. Letakkan setiap obat yang digunakan pada tempat antibocor dan tidak tembus yang diberi label yang sesuai
4. Buang penampung yang berisi peralatan dan obat-obat an yang tidak digunakan sesuai dengan peaturan pembuangan zat berbahaya
Peralatan
1. Perangkat peralatan untuk mengatasi tumpahan kemoterapi :
- Masker respirator
- Kacamata plastic yang aman
- Sarungtangan karet yang tebal
- Bantalan absorben untuk menyerap tumpahan cairan
- Handuk absorben untuk membersihkan bekas tumpahan
- Sekop kecil untuk mengumpulkan pecahan kaca
- Dua kantong pembuangan berukuran besar
2. Baju pelindung sekali pakai
3. Tempat untuk larutan detergen dan air keran yang bersih untuk membersihkan bekas tumpahan
4. Tempat penampungan yang tahan bocor
5. Pengirigasi mata simpan di dekat area kerja

water seal drainase

Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
Indikasi
a. Pneumothoraks :
- Spontan > 20% oleh karena rupture bleb
- Luka tusuk tembus
- Klem dada yang terlalu lama
- Kerusakan selang dada pada sistem drainase
b. Hemothoraks :
- Robekan pleura
- Kelebihan antikoagulan
- Pasca bedah thoraks
c. Thorakotomy :
- Lobektomy
- Pneumoktomy
d. Efusi pleura : Post operasi jantung
e. Emfiema :
- Penyakit paru serius
- Kondisi inflamsi
Tujuan
· Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
· Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
· Mengembangkan kembali paru yang kolaps
· Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
- anterolateral interkosta ke 1-2
- fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
- postero lateral interkosta ke 8-9
- fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
- Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks
- Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol
- Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru
- Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
- Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
- Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
· Inspirasi akan meningkat
· Ekpirasi menurun
b. WSD dengan sistem 2 botol
- Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal
- Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal
- Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2
- Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD
- Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks, efusi peural
c. WSD dengan sistem 3 botol
- Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan
- Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
- Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD
- Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
- Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
· Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
· Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
· Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer
Komplikasi Pemasangan WSD
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
Prosedur pemasangan WSD
a. Pengkajian
- Memeriksa kembali instruksi dokter
- Mencek inform consent
- Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan
b. Persiapan pasien
- Siapkan pasien
- Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
· Tujuan tindakan
· Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring
· Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
· Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
c. Persiapan alat
· Sistem drainage tertutup
· Motor suction
· Slang penghubung steril
· Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan baik , dan perawat member dukungan moril pada pasien
e. Tindakan setelah prosedur
· Perhatikan undulasi pada sleng WSD
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
- Motor suction tidak berjalan
- Slang tersumbat
- Slang terlipat
- Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas
· Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
· Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air
· Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg keluar
· Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
· Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
· Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat
· Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi
· Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
· Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang
· Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran
· Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan
· Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efektif
· Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
· Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
· Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
Perawatan pada klien yang menggunakan WSD
a. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV stabil
b. Observasi adanya distress pernafasan
c. Observasi :
- Pembalut selang dada
- Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah
- Sistem drainage dada
- Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien
- Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang
- Tipe & jumlah drainase cairan. Catat warna & jumlah drainase, TTV & warna kulit
- Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan
d. Posisikan klien :
- Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
- Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
e. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
f. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester
g. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis sistem komersial yang sekali pakai
h. Urut selang jika ada obstruksi
i. Cuci tangan
j. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
Cara mengganti botol WSD
a. Siapkan set yang baru
Botol berisi cairan aquadest ditambah desinfektan
b. Selang WSD di klem dulu
c. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
d. Amati undulasi dalam slang WSD
Pencabutan selang WSD
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
a. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
· Tidak ada undulasi
· Cairan yang keluar tidak ada
· Tidak ada gelembung udara yang keluar
· Kesulitan bernafas tidak ada
· Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
· Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
b. Slang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada slang

askep kolelitiasis

Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

2. Patologi kolelitiasis
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu, yang terdiri dari : kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, fosfolipid (lesitin) dan elektrolit.
Batu empedu memiliki komposisi yang terutama terbagi atas 3 jenis :
1. batu pigmen
2. batu kolesterol
3. batu campuran (kolesterol dan pigmen)

3. Etiologi kolelitiasis
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti,adapun faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
§ Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
§ Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin ) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
§ Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan.Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu ,dibanding panyebab terbentuknya batu.

4. Patofisiologi kolelitiasis
1. Batu pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak
Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase

Presipitasi / pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
§ Batu kolesterol
Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan empedu dan berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin (fosfolipid).

Proses degenerasi dan adanya penyakit hati

Penurunan fungsi hati

Penyakit gastrointestinal Gangguan metabolisme
↓ ↓
Mal absorpsi garam empedu ¬ Penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolesterol

Berperan sebagai penunjang
iritan pada kandung empedu ¬ Supersaturasi (kejenuhan) getah empedu oleh kolesterol
↓ ↓
Peradangan dalam Peningkatan sekresi kolesterol
kandung empedu
↓ ↓
Kemudian kolesterol keluar dari getah empedu
Penyakit kandung ↓
empedu (kolesistitis)
Pengendapan kolesterol

Batu empedu


5. Manifestasi klinis kolelitiasis
Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.

§ Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin muntah dan pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat.

Mekanisme nyeri dan kolik bilier

Batu empedu

Aliran empedu tersumbat (saluran duktus sistikus)

Distensi kandung empedu

Bagian fundus (atas) kandung empedu menyentuh bagian abdomen pada
kartilago kosta IX dan X bagian kanan

Merangsang ujung-ujung saraf sekitar untuk
mengeluarkan bradikinin dan serotonin

Impuls disampaikan ke serat saraf aferen simpatis

Menghasilkan substansi P (di medula spinalis)


Thalamus



Korteks somatis sensori Bekerjasama dengan pormatio retikularis
(untuk lokalisasi nyeri)
↓ ↓
Serat saraf eferen Hipotalamus



Nyeri hebat pada kuadran kanan atas
dan nyeri tekan daerah epigastrium
terutama saat inspirasi dalam




Penurunan pengembangan thorak Menjalar ke tulang belikat
(sampai ke bahu kanan)

Nyeri meningkat pada pagi hari

Karena metabolisme meningkat di kandung
empedu


Mekanisme mual dan muntah
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah.
Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung.

Obstruksi saluran empedu

Alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu, kolesterol)

Proses peradangan disekitar hepatobiliar

Pengeluaran enzim-enzim SGOT dan SGPT

Peningkatan SGOT dan SGPT


Bersifat iritatif di saluran cerna

Merangsang nervus vagal (N.X Vagus)

Menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis



Penurunan peristaltik sistem Akumulasi gas usus
pencernaan (usus dan lambung) di sistem pencernaan
↓ ↓
Makanan tertahan di lambung Rasa penuh dengan gas
↓ ↓
Peningkatan rasa mual Kembung

Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata)

Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan,
serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma

Muntah

Mekanisme ikterik, BAK berwarna kuning

Akibat adanya obstuksi saluran empedu menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut Clay Colored.
Selain mengakibatkan peningkatan alkali fospat serum, eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.

Obstuksi saluran empedu

Ekresi cairan empedu ke duodenum (saluan cerna) menurun



Feses tidak diwarnai Peningkatan alkali fosfat serum Peningkatan bilirubin serum
oleh pigmen empedu ↓
↓ Diserap oleh darah

Feses pucat/ berwarna kelabu Masuk ke
dan lengket (seperti dempul) sirkulasi sistem
↓ ↓
Disebut Clay Coroled Filtrasi oleh ginjal

Bilirubin dieksresikan oleh gi

Warna urin kuning/ kecoklatan




6. Nilai hasil pemeriksaan laboratorium (dalam buku patofisiologi vol 1)

1.Uji eksresi empedu
Fungsinya mengukur kemampuan hati untuk mengonjugasi dan mengekresikan pigmen.
§ Bilirubin direk (terkonjugasi) merupakan bilirubin yang telah diambil oleh sel-sel hati dan larut dalam air.Makna klinisnya mengukur kemampuan hati untuk mengonjugasi dan mengekresi pigmen empedu. Bilirubin ini akan meningkat bila terjadi gangguan eksresi bilirubin terkonjugasi.
Nilai normal :
0,1-0,3 mg/dl

§ Bilirubin indirek (tidak terkonjugasi) merupakan bilirubin yang larut dalam lemak dan akan meningkat pada keadaan hemolitik (lisis darah).
Nilai normal :
0,2-0,7 mg/dl

§ Bilirubin serum total merupakan bilirubin serum direk dan total meningkat pada penyakit hepatoselular
Nilai normal :
0,3-1,0 mg/dl

§ Bilirubin urin / bilirubinia merupakan bilirubin terkonjugasi dieksresi dalam urin bila kadarnya meningkat dalam serum, mengesankan adanya obstruksi pada sel hatiatau saluran empedu. Urin berwarna coklat bila dikocok timbul busa berwarna kuning.
Nilai normal :
0 (nol)

2.Uji enzim serum

Asparte aminotransferase (AST / SGOT ) dan alanin aminotransferase (ALT / SGPT) merupakan enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak (seperti nekrosis atau terjadi perubahan permeabilitas sel dan akan meningkat pada kerusakan hati. Nilai normal AST / SGOT dan ALT / SGPT : 5-35 unit/ml.
Alkaline posfatase dibentuk dalam hati dan dieksresikan ke dalam empedu, kadarnya akan meningkat jika terjadi obstuksi biliaris. Nilai normalnya : 30-120 IU/L atau 2-4 unit/dl.

7. Pemeriksaan diagnostic

1. Ronsen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.

2. Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Yaitu melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok septik.

3. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi

8. Penatalaksanaan

a. Non Bedah, yaitu :
Therapi Konservatif
§ Pendukung diit : Cairan rendah lemak
§ Cairan Infus
§ Pengisapan Nasogastrik
§ Analgetik
§ Antibiotik
§ Istirahat

Farmako Therapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.

Pembedahan Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh dengan tindakan konservatif .

Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy
1. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.
2. Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
3. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang akan dilakukan pada post operasi.

Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy
1. Posisi semi Fowler
2. Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
3. Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri :
§ Teknik Relaksasi
§ Distraksi

Terapi

1.Ranitidin
Komposisi : Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi.
Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).
Perhatian : pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

2.Buscopan (analgetik /anti nyeri)
Komposisi : Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi
Indikasi : Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita.
Kontraindikasi : Glaukoma hipertrofiprostat.

3. Buscopan Plus
Komposisi : Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg,.
Indikasi : Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.

4. NaCl
i. NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
ii. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.

Penatalaksanaan Diet

Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel –sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti : buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi / teh.

9. Diagnosa yang muncul
· Nyeri akut berhubungan dengan proses biologis yang ditandai dengan obstruksi kandung empedu
· Mual berhubungan dengan iritasi pada sistem gastrointestinal
· Defisit pengetahuan berhubungan dengan salah dalam memahami informasi yang ada

10. Asuhan Keperawatan
Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan proses biologis yang ditandai dengan obstruksi kandung empedu
Tujuan :
· Nyeri akan berkurang dengan kriteria :
· Tingkat kenyamanan terpenuhi : perasaan senang secara fisik dan psikologis (Comfort Level ).
· Tingkat nyeri berkurang atau menurun (Pain Level) .
Intervensi :
Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif, meliputi : lokasi, karakteristik, awitan / durasi, Frekuensi, Kualitas, Intesitas dan keparahan nyeri.
Berikan Informasi tentang nyeri, seperti : Penyebab nyeri, seberapa akan berlangsung dan antisipasinya serta ketidaknyamanan dari prosedur.
Ajarkan penggunaan teknik Non-farmakologis, seperti : Relaksasi, Distraksi, Kompres Hangat / dingin, Masase )
Mempertahankan Tirah Baring
Pemberian Analgetik
Rasional :
Agar kita mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan klien
Agar klien mengetahui tenyang nyeri yang bdirasakan klien
Agar klien dapat mengalihkan rasa nyeri
Dengan tirah baring akan mengurangi nyeri tekanan pada intra abdomen terutama posisi fowler rendah
Untuk mengurangi nyeri


Diagnosa : Mual berhubungan dengan iritasi pada gangguan sistem gastrointestinal
Tujuan :
Status Nutrisi : Asupan makanan dan cairan dalam 24 jam terpenuhi / adekuat
Pasien terbebas dari mual
Tingkat kenyamanan terpenuhi : Perasaan lega secara fisik dan psikologis
Intervensi :
· Penatalaksanaan Cairan : peningkatan keseimbangan cairan
· Pemantauan Cairan : Pengumpulan dan Analisis data klien
· Pemantauan Nutrisi : Pengumpulan dan Analisa data klien
· Berikan therapi IV sesuai dengan anjuran
Rasional :
Untuk pencegahan komplikasi yang disebabakan oleh kadar cairan yang tidak normal
Untuk mengatur keseimbangan cairan
Untuk mencegah atau meminimalkan malnutrisi
Untuk meminimalkan rasa mual dan membantu intake nutrisi

Diagnosa : Defisit pengetahuan berhubungan dengan Salah dalam memahami informasi yang ada
Tujuan :
Terpenuhinya pengetahuan klien dan keluarga tentang perawatan diri dan keluarga
Intervensi :
Panduan Sistem Kesehatan
Pengajaran Proses Penyakit
Pengajaran diet yang dianjurkan
Pengajaran Prosedur atau penanganan
Pengajaran aktivitas/ latihan yang harus dilakukan

Rasional :
Untuk memfasilitasi daerah klien dan penggunaan layanan kesehatan yang tepat
Membantu klien dalam memahami informasi yang berhubungan dengan proses timbulnya penyakit secara khusus
Agar klien mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan
Agar klien memahami terhadap penanganan yang dilakukan / dianjurkan
Agar klien mengalami aktiv itas apa yang harus dilakukan



























Daftar Pustaka

Brunner & Suddart.2001.Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan Edisi 6. Jakarta.EGC
Hall,J.Emungkinand A.C.Guyton.1997.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,Jakarta : EGC
Ikataan sarjana Farmasi Indonesia.2004.ISO.Jakarta
Joanne MD & Gloria MB. 2004. Nursing Intervention Clasification Jhonson, Marion 2000. Nursing Outcome Clasification. Philadelpia : Mosby (NIC)
Fourth Edition. Philadelpia : Mosby
Kee,L.J.Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.Jakarta : EGC
Mansjoer,Arif M.2001.Kapita Selekta Kedokteran .Jakarta :Media Aesculapius
Moory,Mary Courney.1997.Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi.Jakarta : EGC
Sherwood,L.2001.Fisiologi Manusia.Jakarta :EGC
Wilkison, Judit M. 2006. Buku Saku Diagnisis Keperawatan. Jakarta : EGC
www.Medicastore.com
www.depkes.org.id
www.wikipedia.com