Powered By Blogger

Minggu, 25 Juli 2010

farmakologi dan toksikologi

Karsinogenisitas Benzo[a]piren

Benzo[a]piren, C20H12, adalah hidrokarbon aromatik polisiklik lima cincin yang memiliki sifat mutagenik dan sangat karsinogenik. Benzo[a]piren merupakan produk proses pembakaran yang tidak sempurna pada suhu 300-600°C [1].

benzo[a]piren

Benzo[a]piren [1]

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara senyawa ini dengan munculnya kanker. Penelitian Saunders et al, (2006), dan penelitian Slotkin & Seidler, (2009) menunjukkan bahwa benzo[a]piren menjadi penyebab terjadinya toksisitas saraf akut melalui proses stres oksidatif dan terjadinya diferensiasi pembelahan sel saraf [6,9]. Desissenko et al, (1996) menunjukkan bahwa secara molekuler komponen asap tembakau yaitu benzo[a]piren menjadi penyebab munculnya kanker paru-paru melalui kerusakan genetik (DNA) sel paru-paru [2].

Benzo[a]piren merupakan prokarsinogen, yang berarti bahwa mekanisme karsinogenesis dari benzo[a]piren tergantung dari metabolisme enzimatik benzo[a]piren menjadi senyawa mutagen, yaitu benzo[a]piren diol eposida. Senyawal ini akan berinteraksi dengan DNA dengan berikatan secara kovalen pada nukleofilik basa nukleat Guanin di posisi atom N2 posisi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya distorsi ikatan DNA yang akan mempengaruhi mutasi dengan pada struktur dobel helik DNA [3,8,11,12].

Enzim CYP450 1A1, dan CYP 450 1B1 merupakan dua enzim yang bersifat protektif terhadap toksisitas dari benzo[a]piren. Enzim CYP 450 1A1 bertindak mencegah terjadinya kanker payudara dari dosis rendah benzo[a]piren, dan terjadi akumulasi benzo(a)piren dalam konsentrasi besar pada tikus yang diknockout. Toksisitas benzo[a]piren diperoleh akibat dari bioaktivasi benzo[a]piren menjadi benzo[a]piren-7,8-dihidrodiol-9,10-epoksida [8,12].

Benzo diol

benzo[a]piren-7,8-dihidrodiol-9,10-epoksida [1]

(read more)

Hepatotoksisitas Parasetamol

Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol adalah derivat dari para-amino fenol yang memiliki khasiat dan digunakan secara luas dalam klinik sebagai analgesik-antipiretik (Keeffe et al, 2004). Parasetamol sebagian besar (±80%) dimetabolisme di dalam hati, terkonjugasi dengan asam glukuronat dan sulfat dan sebagian kecil dioksidasi oleh enzim sitokrom P-450 di hati menjadi metabolit reaktif N-asetil-benzo-paraquinon-imina (NABQI) atau sering disebut juga N-asetil-p-benzokuinon-imina (NAPBKI) (Wallace, 2004; Vandenberghe, 1996).

Pemberian parasetamol dosis toksik menghasilkan metabolit reaktif yang melimpah. Hal ini dipercaya sebagai senyawa yang menimbulkan kerusakan pada hati (Jaeschke et al, 2002). Mekanisme toksisitasnya sampai saat ini masih cukup kontroversial. Secara umum mekanismenya dapat dibagi menjadi dua yaitu melalui antaraksi kovalen dan antaraksi nirkovalen. Antaraksi kovalen, terjadi karena pemberian Parasetamol dosis toksik akan menguras kandungan Glutation/GSH-sitosol sehingga NAPBKI akan berikatan secara kovalen dengan makromolekul protein sel hati, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sel (Kedderis,1996; Tirmenstein & Nelson, 1990; Gillette, 1981).

GSH merupakan jalur detoksifikasi NABQI pada metabolime fase II yang efisien untuk semua metabolit reaktif yang mengandung elektrofil. Pengurangan jumlah GSH akibat berikatan secara kovalen dengan NABQI akan memicu proses patobiologi seperti peroksidasi lemak dan siklus redoks. Hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif langsung pada gugus sulfhidril dan menginisiasi terbentuknya radikal bebas. Proses-proses tersebut akan memicu dimulainya mekanisme ketiga yaitu terjadinya kematian sel menyebabkan sel rentan terkena efek toksik dari metabolit reaktif (Kedderis,1996). Nitrit oksida juga memegang peranan penting pada terjadinya kerusakan sel hati (James et al, 2003).

Sedangkan antaraksi nirkovalen melibatkan pembentukan radikal bebas N-asetil-p-semikuinonimina (NAPSKI) pembangkitan oksigen reaktif, anion superoksida serta gangguan homeostasis Ca yang semuanya akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati (Kedderis,1996; Chan et al., 2001). Proses kerusakan sel hati diawali oleh kerusakan DNA yang kemudian berlanjut menjadi terjadinya hepato-sitotoksisitas (Oshida et al, 2008; Farkas & Tannenbaum, 2005).

(read more)

Antidepresan Trisiklik: Imipramin

Imipramin

Imipramin adalah antidepresan dari golongan trisiksik pertama yang dikembangkan pada tahun 1950 [1] dan mulai tahun 1957 secara klinik mulai digunakan dalam terapi [7]. Merupakan suatu senyawa derivat dari dibenzazepin yang karena struktur kimianya disebut sebagai antidepresi trisiklik. Bersama Amitriptilin obat ini obat ini paling banyak digunakan untuk terapi depresi dan dianggap sebagai pengganti penghambat MAO (Monoamin Oksidase) yang tidak banyak digunakan lagi. Obat ini telah dibuktikan dapat mengurangi keadaan depresi, terutama depresi endogenik dan psikogenik. Perbaikan berwujud sebagai perbaikan suasana (mood), bertambahnya aktivitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan, dan pola tidur yang lebih baik, serta berkurangnya pikiran morbid. Obat ini tidak menimbulkan euphoria pada orang normal [4, 6, 9].

Antidepresan trisiklik lebih baik dibanding senyawa penghambat monoamin oksidase dan menimbulkan efek samping yang lebih rendah. Efek samping tersebut antara lain adalah mulut kering, mata kabur, konstipasi, takikardia dan hipotensi [9].

Berdasarkan struktur kimia di atas, Imipramin kemudian ditemukan derivat desmetil yaitu desipramin (demetilasi imipramin). Imipramin merupakan senyawa prodrug yang di dalam tubuh akan dimetabolisme di hati secara cepat (N-demetilasi) menjadi bentuk senyawa aktif desipramin [9]. Potensi relatif dari metabolit desipramin jauh lebih besar dibandingkan dengan imipramin sendiri [5].

Hubungan Struktur dan Aktivitas Imipramin
(read more)

Pelepasan Insulin dari Sel Beta Pankreas


Pelepasan insulin diregulasi oleh adanya glukosa, keberadaan asam amino dan beberapa hormon gastrointestinal (glukagon, sekretin, gastrin, glucose-dependent insulin-releasing peptide/GIP, dan cholecytokinin/CCK). Secara molekuler prose pelepasan insulin dari sel beta pankreas diawali uptake glukosa oleh sel beta pankreas yang dimediasi oleh glukosa transporter GLUT2. Kemudian glukosa akan mengalami glikolisis dan citric acid cycle dengan bantuan enzim glukokinase, sehingga melepaskan NADH dan FADH2 di dalam mitokondria, yang akan mendonorkan elektronnya pada mitochondrial electrone-transport chain.

Tahap selanjutnya akan terjadi pengeluaran proton oleh komplex I, III, dan IV yang akan menyebabkan perubahan gradien elektrokimia pada sel beta pankreas. Perubahan gradien yang terlalu tinggi akan memicu pemasukan kembali proton ke dalam mitokondria melalui ATP sintetase dan uncoupling protein 2. Jalur ATP sintetase akan menyebabkan diproduksinya ATP dengan adanya ADP dan fosfat inorganik, sedangkan jalur uncoupling protein 2 akan menghasikan pelepasan energi berupa panas. Peningkatan ATP dan ADP akan menghambat ATP-sensitive K+ channel sehingga kanal akan tertutup dan terjadi penurunan depolarisasi dari membran plasma. Depolarisasi membran mengakibatkan terbukanya kanal Ca2+, sehingga terjadi transport Ca2+ dari luar sel ke dalam sel (peningkatan kadar Ca2+ intraseluler). Pada akhirnya konsentrasi Ca2+ intrasel yang tinggi akan memicu release insulin dari sel beta pankreas.

Golongan obat antidiabetes peroral memiliki mekanisme kerja pada jalur ini, yaitu dengan hambatan secara langsung pada kanal K+ sensitif ATP.

Mitiglinid

Mitiglinide adalah obat antidiabetes baru untuk pengobatan diabetes mellitus tipe II. Mitiglinide memiliki kerja yang cepat dan durasi kerja yang pendek melalui peningkatan sekresi insulin [2,3,4,5,6]. Efek klinis mitiglinid yang lebih cepat dibandingkan obat golongan sulfonilurea belum dapat dijelaskan hubungannya baik dari sudut pandang kecepatan absorpsi obat maupun dari sudut karakteristik ikatannya terhadap SUR [5].

Mitiglinid dipasarkan dengan nama dagang Glufast oleh Kissei and Takeda (Jepang), dan Elixir Pharmaceuticals di Amerika Utara [1].

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja mitiglinid sebagai obat antidiabetes hampir sama seperti golongan sulfonilurea yaitu melalui ikatan pada kompleks Kir6.2/SUR1 di sel β-pankreas, meskipun secara struktur kimia mitiglinid tidak termasuk ke dalam golongan sulfonilurea. Efek peningkatan insulin dihasilkan oleh penghambatan mitiglinid terhadap kanal KATP sel β-pankreas [2,3,4,6].

(read more)

Eksperimen Farmakologi Asam Urat


Berhati-hatilah bagi teman-teman yang sedang melakukan penelitian farmakologi tentang asam urat dengan menggunakan KBrO3 sebagai penginduksi dengan hewan percobaan tikus. Besar kemungkinan anda akan dibuat pusing oleh data hasil penelitian. Karena terjadi fluktuasi kadar asam urat pada darah tikus yang sangat drastis.

Hal ini terjadi karena tikus memiliki enzim uricase yang akan menetralkan asam urat dalam tubuhnya, meskipun sudah diinduksi dengan KBrO3. Bukankah kita tak pernah mendengar tikus-tikus mengeluh sakit asam urat (apakah semua rodensia bersifat sama seperti ini?buat kita-kita yang malas baca buku, yuk mari kita tanya sama Mbah Google atau Mbah Wiki!).

Fluktuasi kadar asam urat tikus yang sangat drastis akan membuat kita kesulitan pada saat menginterpretasi dan mengambil kesimpulan dari analisis secara statistik dan menilai kebermaknaannya secara klinis. Sehingga membuat pandangan mata kabur, buram serta pikiran menjadi kelabu seolah langit runtuh (gdubraak…!).

Sebagai penginduksi asam urat, KBrO3 bekerja dengan cara merusak ginjal hewan percobaan secara permanen. Kerusakan pada ginjal mengakibatkan gangguan eksresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat (buat yang mau lampus diri, silakan klen pertimbangkan zat ini! dan selamat menderita!).

(read more)

Dilema Parasetamol

Richard Beasley, Direktur Medical Research Institute Selandia Baru, spesialis gangguan pernapasan pada Wellington Hospital, konsultan Organisasi Kesehatan Sedunia mengenai Asma

Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan di dunia. Ia merupakan obat pilihan untuk meringankan demam dan nyeri, karena dikenal aman. Namun, 10 tahun yang lalu, sudah muncul hipotesis bahwa penggunaan parasetamol bisa meningkatkan risiko terjangkit asma. Digunakannya parasetamol sebagai pengganti aspirin di Amerika Serikat selama 1980-an dikatakan sebagai penyebab meningkatnya prevalensi asma pada anak selama kurun waktu tersebut.

Digantikannya aspirin dengan parasetamol, demikian menurut para peneliti, menyebabkan meningkatnya allergic immune response, serta mudah terjangkitnya anak oleh asma dan gangguan alergi lainnya. Sejak saat itu, sejumlah studi epidemiologis sudah melaporkan adanya kaitan antara asma dan penggunaan parasetamol pada kandungan, pada anak, dan pada orang dewasa. Studi-studi tersebut memberikan kesan bahwa penggunaan parasetamol mungkin merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma.

Bukti terbaru yang mendukung hipotesis ini datang dari studi epidemiologis internasional mengenai asma pada anak-anak yang baru-baru ini dimuat dalam jurnal kedokteran The Lancet. Analisis yang dilakukan International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) ini melibatkan lebih dari 200 ribu anak yang berusia enam dan tujuh tahun dari 73 pusat penelitian di 31 negara. Orang tua atau wali anak diminta menjawab pertanyaan tertulis mengenai gejala asma, rhinitis, dan eksim yang diketahui dan mengenai beberapa faktor risiko, termasuk penggunaan parasetamol untuk menurunkan demam pada tahun pertama anak, serta frekuensi penggunaan parasetamol selama 12 bulan terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar